Manusia adalah mahluk yang dikaruniai akal dengan kemampuan kognitif yang begitu kompleks dan sempurna, keberuntungan inilah yang kemudian membuat manusia tidak hanya berhenti sebatas realitas sensorik semata. Lebih jauh, manusia bahkan mampu menciptakan gambaran simbolik dan pola realitas abstrak yang terbebas dari ruang dan waktu.
Ketika manusia melihat pohon yang berbuah misalnya, gambaran mengenai pohon yang berbuah tidak hanya berhenti pada saat melihat pohon tersebut. Lebih jauh, gambaran itu juga tersimpan di dalam memorinya dan menjadi realitas simbolik di dalam fikirannya, ia tetap dapat memikirkan pohon tersebut kapan dan dimana saja meskipun pohon tersebut sudah tidak ada.
Ketika dikemudian hari manusia menemukan benda yang sama dengan pohon sebelumnya dengan bentuk yang sangat berbeda, ia akan tetap meng-asosiasikan hal tersebut sebagai satu jenis yang sama. Apabila pahon tersebut tidak mempunyai buah seperti pohon sebelumnya, Ia pun dapat membandingkan kembali dengan gambaran simbolik akan pohon yang berbuah sebelumnya, sehingga pada titik tertentu manusia perlahan menemukan sebuah pola mengenai “sudah’ dan “belum” atau “iya” dan “tidak”-nya pohon tersebut berbuah.
Hal inilah yang saya anggap sebagai saat dimana manusia menemukan bahasanya, walaupun bahasa yang dimaksud bukanlah bahasa mengenai sebuah kata-kata sebagaimana yang umum kita pahami, melainkan sebuah rangkaian gambar deskriptif dari pencerapannya akan realitas.
Ketika di kemudian waktu, ia mampu menamai realitas simboliknya dengan spontan dan arbiter dari meniru sumber suara atau hal-hal lain. Ia akan tetap mengingatnya sebagai penanda yang membedakan suatu objek tertentu dengan objek lainya. Disaat ia memberi sebuah nama kepada pohon sebagai “tree” dan kemudian memberi nama kepada buah apel dengan “apple”, ia dapat dengan mudah menggabungkan dua konsep tersebut dengan satu kontruksi nama sebagai “apple tree”, begitupun dengan pola-pola abstrak lainnya.
Dari penamaan yang arbiter tersebut, bahasa yang ia ciptakan pada titik terjauh mampu menjadi alat komunikasi terhadap sesamanya, dan kemudian terjadilah sebuah konvensi. Semakin banyak pengalamannya dalam melihat realitas baru, akan semakin banyak bahasa yang diciptakan. Pada akhirnya di setiap generasi sesudahnya, bahasa akan mulai mengalami pertambahan dan efesiensi konsep mengenai kontruksi dan struktur bahasa, seperti perhitungan matematika dari 1+1 menjadi 2, 2+3 menjadi 5 atau dari 2 menjadi 1, 5 menjadi 2 dan seterusnya.
Dari sini sampailah kita pada pertanyaan mengapa bahasa manusia mengalami perubahan di setiap wilayahnya? Bagi saya hal ini boleh jadi disebabkan oleh perilaku hidup nomaden manusia, dan pada titik tertentu mengalami isolasi. Sehingga bahasa yang ada -- oleh generasi selanjutnya mengalami pergeseran yang dilatarbelakangi oleh kondisi realitas di sekitarnya.
Ketika dua koloni bertemu dengan bahasa yang berbeda, pada titik terjauh akan menghasilkan satu konstruksi bahasa yang sama. Itu sebabnya pada hal tertentu di berbagai wilayah yang saling berdekatan, bahasa mempunyai kemiripan seperti Indonesia, Malaysia, dan Singapura yang mempunyai sedikit persamaan, sebab mempunyai satu rumpun bahasa yang sama, yaitu bahasa Melayu.
Ini lah yang kemudian membedakan manusia dengan makhluk lainnya. Jika manusia mempunyai dua realitas (sensorik dan simbolik), hewan hanya mempunyai satu realitas saja (sensorik). Ia tidak bisa membayangkan dan mengatakan “ada singa” tanpa adanya singa dihadapannya bagitupun pada titik terjauhnya aktifitas komunikasinya hanyalah aktifitas signaling semata.
Meskipun hewan dapat diajarkan kata-kata “assalamualaikum” seperti burung beo, namun bahasa tersebut hanya terbatas pada kondisi-kondisi sensorik saja dari hasil meniru suara atau sesuatu yang diulang-ulang. Betapapun juga ia tidak akan bisa menciptakan dan membedakan kepada siapa dia harus memberi salam dan kepada siapa dia harus mengatakan “assamualaikum” sekalipun ia sudah diajarkan.
Singkatnya, beo tidak dapat menciptakan dan menyadari makna suatu bahasa.
Yuval Noah Harari dalam bukunya Sapiens, menuliskan sebuah kunci kemenangan homo sapiens adalah revolusi kognitifnya dalam menciptakan bahasa sekitar 70.000 dan 30.000 tahun silam sehingga mampu membuat manusia dapat menjalin kerjasama dan jejaring kolektif yang sangat efektif.
Ia juga menulis, bahwa setiap hewan tahu cara berkomunikasi. Bahkan serangga, seperti lebah dan semut, tahu bagaimana cara saling memberi informasi mengenai letak makanan. Bahasa Sapiens juga bukanlah penemu sistem komunikasi vokal pertama. Banyak hewan, termasuk semua sapiens kera dan monyet, menggunakan isyarat vokal. Misalnya, monyet hijau menggunakan berbagai jenis panggilan untuk memperingatkan sesamanya. Ahli-ahli zoologi telah mengidentifikasi satu panggilan yang berarti ”Hati-Hati! Elang!” panggilan lain yang agak berbeda memperingatkan “Hati-Hati! Singa!” ketika para peneliti memutar rekaman panggilan pertama kepada sekelompok monyet, monyet-monyet itu menghentikan kesibukan mereka dan melihat keatas dengan ketakutan. Ketika kelompok yang sama mendengar rekaman panggilan kedua, peringatan singa, mereka lekas lekas memanjat pohon. Sapiens dapat menghasilkan jauh lebih banyak suaru berbeda daripada monyet hijau. Burung betet bisa mengatakan apa pun yang dikatakan Albert Einstein, juga meniru dering telpon, bunyi pintu dibanting, dan raungan sirine. Apa pun keunggulan Einstein dibanding betet, itu pastilah bukan keunggulan vokal. Kalau begitu, apa yang sedemikian istimewa mengenai bahasa kita ?
Yuval menambahkan jawabannya bahwa yang paling umum adalah bahasa kita luar biasa luwes. Kita bisa menyambungkan bunyi dan tanda dalam jumlah terbatas untuk menghasilkan kalimat dalam jumlah tak terbatas, masing-masing dengan makna tersendiri. Karena itu kita bisa menelan, menyimpan, dan menyampaikan banyak sekali informasi mengenai dunia di sekeliling kita.
Yuval juga memberikan penambahan teori yaitu bahwa bahasa kita tidak hanya sebagai cara berbagi informasi mengenai dunia. Bahasa kita ber-evolusi dengan cara bergosip. Keterampilan linguistik baru yang diperoleh sapiens modern, sekitar tujuh puluh ribu tahun silam memungkinkan mereka bergosip berjam-jam tanpa akhir. Informasi adalah mengenai siapa yang bisa dipercaya berarti kawan-kawan kecil bisa mengembang menjadi kawan-kawan yang lebih besar, dan Sapiens dapat mengembangkan jenis-jenis kerja sama yang lebih erat dan lebih canggih.
Berkat evolusi kognitif manusia, ia bahkan mampu menciptakan konstruksi simbolik yang sama sekali tidak ada, dan kemudian memperoleh kemampuan untuk berkata “Singa itu adalah arwah pelindung suku kita.” kemampuan untuk membicarakan soal fiksi ini adalah ciri paling khas bahasa Sapiens. Fiksi inilah yang kemungkinan menjadi kunci keberhasilan Homo Sapiens menguasai dunia, bahwa dengan fiksi bukan hanya mengkhayalkan ini dan itu, melainkan juga melakukanya secara bersama-sama.
Namun dalam hal ini, fiksi merupakan sebuah abstraksi yang tidak muncul begitu saja, fiksi ditandai dunia konkrit dari aktifitas simbolik yang di tangkap oleh pencerapan lingkup realitasnya yang kemudian menciptakan kesan dibalik realitas tersebut.
Bisa dikatakan yang ada itu ada dan yang tidak ada itu tidak ada, meskipun seseorang dapat dengan mudah mengatakan bahwa ada manusia setengah singa, itu tetaplah didasarkan pada pencerapan dan menggabungan dua konsep menjadi satu konstruksi saja.
Meski demikian kesan tersebut memberikan sebuah penanda bahwa dalam mengamati realitas, manusia tidak hanya berhenti pada realitas secara objektif saja melainkan juga mengintervensi kesan yang oleh David Hume sebut sebagai impresi, hal inilah yang kemudian mempengaruhi manusia melakukan proses berfikir secara abstrak, atau fiksi yang diekspresikan secara simbolik melalui sebuah cerita, pernyataan dan juga sebuah patung maupun lukisan.
Di era modern sebagaimana yang kita alami, abstraksi-abstraksi demikian kerap diekspresikan menjadi simbol-simbol nyata berupa sebuah kata, maupun simbol-simbol lain yang bersifat konvensi, simbol simbol pun juga kerap menjadi proyeksi identitas seperti cantik, jelek, kaya, miskin, terhormat, tidak terhormat, sopan, radikal, moderat, kafir, sesat, bodoh, atheis, kiri, makar, pahlawan, negara, pengorbanan, feminim, maskulin, pacar, agent of change, solidaritas, dsb.
Maka dari fiksi ini pula bahasa dapat dijadikan alat manipulasi kaum dominan dan seseorang yang mempunyai otoritas kuasa, atas monopoli kebenarannya. Term mengenai “kiri” misalnya, Selama ini masyarakat kita terjebak pada kontruksi kesadaran yang salah kaprah, bahwa hasil pemikiran yang berbeda dengan arus utama mainstream yang berkembang saat itu selalu dianggap sebagai model pemikiran kiri. Parahnya, kiri selalu diidentikan dengan komunis dan komunis selalu diidentikan sebagai seorang atheis yang tak beragama.
Hal ini terjadi karena monopoli kebenaran tampaknya bersumber dari otoritas kuasa yang bisa jadi berasal dari pemimpin maupun pendidikan, yang kemudian diterima oleh kaum dominan dan menghasilkan pengertian yang demikian terkait terminologi “kiri”.
Dalam beberapa hal, pada titik tertentu, bahasa tak hanya sekadar sebagai alat interaksi maupun komunikasi saja, namun juga sebagai proses berfikir dan cara pandang, bahasa juga merupakan permainan yang dapat dimanipulasi sebagai alat hegemonik untuk pengontrol sebuah kepentingan pengucap ataupun kepentingan sebuah sistem.
Meski kajian lingguistik sangatlah luas, dan hal ini juga mungkin masih menjadi perdebatan bagi para kalangan dibidang linguistik, tentunya hal ini sangatlah tidak sebanding dengan artikel yang ngawur ini. Namun sebagai refleksi kita, nampaknya bahasa juga punya warna yang begitu penting dalam hidup kita, bahkan kondisi sosial suatu kelompok.
Pun demikian, bahasa juga alat yang dapat dimanipulasi untuk menggiring kepada suatu wacana besar untuk tujuan hegemonik atau kontrol terhadap kepentingan-kepentingan tertentu, sehingga dalam hal ini kita perlu mereview kembali beberapa konsep bahasa yang ada di keseharian kita, dan kemudian meninjau secara mendalam kesesuaian konteks dan kepentingan terselubung yang ada dari bahasa yang dijargonkan.
Penulis