Loading...

KATA, rasa, aksara, menunggal dalam sedu berbalut cacat
mengusap sejuk nan kaku,
atmaku melangit laksana musafir di tengah belantara

dalam bilik kelam menunggal di balik jeruji, mendesakku membatu
kini tak ada lagi cahaya
menegur dalam irama bengap

tak tuk tak tuk... derap langkah itu merebak lagi, melahirkan raga seakan basmi, kepalan, pentungan, tendangan buatku koyak-koyak hingga jantung dan nadi enggan berdetak

kini tepat pukul satu
benteng kelabu atap membisu
diseret satu demi satu
sakit dan perih kian beradu
entah kemana aku mengadu?
laknatlah engkau kepala batu.
                             

Suara

DERU suara Jeep di penjuru dusun
menuntutku lari tak tentu haluan, 
cacat menjalar di pelipis mata, paru-paru yang sempit tak sanggup bengis

desing, mendesing
suara bedil membelai ranting, hantaman yang buatku gayang
laksana ditikam kepingan beling

bisik, membisik
suara itu balik mengusik
atma dan raga serasa pelik,
aku menggelangsar tak berdaya

kini, suara itu telah pergi
menerawang batasan meninggalkan aku yang tergeletak didalam keheningan, mengharap akhir hayat
yang tak berharga lagi.
                         

Resah

AKU... hendak berkisah kepadamu kawan atas kiblatku yang kelam
dihembus kebebalan

aku hendak berkisah kepadamu kawan , tapi, bukan atas jati diri
sebab kini nurani telah usai dikebiri

gemarku melabrak
tetapi, biarlah kusimpan dalam hati
gemar pula rasanya kubungkus kemurkaan dalam aksara, tetapi, tak kuasa, sebab kini, kata bisa berarti "penjara".

lantas mesti dengan cara apa?
kurasa kita tengah beradu kekuatan melindungi kemanusiaan masing-masing, yang lama tak kita lawatkan 
dan ajak bercakap

semua itu karena kita cukup lama melangit bagai burung di antariksa yang membuat kita linglung, linglung berjalan sebagaimana "manusia".
                       

Kabar

BUMI menegur
melalui angin ia berkisah
atas cacat menjalar,
ini bukan desas-desus pembawa tidur, atau kisah berahi yang harum, tapi, cerita cacat yang tertanam
oleh sang diktatordiktator

satu... dua... tiga... aaakh....

apalah guna aku berbilang, 
sebab atma bukanlah bilangan
tetapi belas kasih sang kuasa.
                          

Hantu Pikiran

SENJA... rasanya 
angkat kaki begitu cepat, arlojiku pun berdetak tak tersendat

spontan terkenang sebuah harapan yang mungkin jadi kenangan
atau bahkan sebuah kejayaan.

mungkin ambisiku klise
tak seelok pesisir Talise
bahkan sekokoh gunung Gawalise
akan tetapi, aku benar-benar percaya inilah awal sebuah fase

dalam bilik dua kali empat
tempat di mana kulepas penat
kurajut angan yang tersirat
lewat pena yang sudah berkarat

menulis apa? mulai dari mana?
itulah yang ada di dalam rasio ini.

sebab... aku bukanlah Rumi
melintasi syairnya yang mengiris hati, jua bukan Rendra, yang
tinta penanya hasilkan bara
atau bahkan penyair Lekra yang dihembus kuasa

ops... bukankah itu bahaya,
bukankah itu merah,
seperti kata jenderal yang pernah bertahta?

dengan sigap ku bangkit
jangan-jangan ada yang menguntit,
atau membaca pikiranku yang sakit;
sebagaimana novel '84 karya Orwell yang eksplisit 

kini 
petang pun datang 
ku buang angan,
singkirkan harapan, apa guna aku berharap
kalau hidup penuh kekrupukan,
jua buncah kemanusiaan.
IndirwanMahasiswa IAIN Palu.
Lebih baru Lebih lama