Setiap kematian kadang terasa tidak wajar. Bahkan kematian mereka—yang hidup mewah dan sudah mendapatkan banyak pengalaman hidup yang berarti, seperti—pekerjaan, pernikahan, anak, dan liburan—juga akhirnya tetap mendatangkan kesedihan yang begitu besar sehingga masuk dalam rasionalitas kita. Itu membuat kita sangat terpukul, tanpa sebab yang jelas.
Ketika saya berjalan menyusuri lorong di sebuah supermarket, saya mengangkut sekarung apel ke dalam gerobak belanjaan, entah mengapa tiba-tiba saya merasa seolah sedang mengangkat tubuh kakek saya ketika saya memandikannya untuk terakhir kalinya karena penyakit kanker yang dideritanya. Seolah sekarung apel itu menjadi medium rohnya. Bagaimana bisa kehilangan seseorang yang kita sayangi itu menjadi hal yang wajar?
Setiap kematian manusia memang tidak wajar, lebih-lebih pembunuhan. Mayat korban pembunuhan yang saya lihat pertama kali adalah ketika saya berada di Baghdad, Irak, selama penempatan awal saya sebagai tentara pada tahun 2007. Di tengah-tengah patroli—sembari menyelami jalan-jalan sempit yang sedikit busuk, sekelompok anak-anak tiba-tiba mendatangi kami dengan wajah tersenyum sembari meminta kami untuk mengikuti mereka. Mereka tertawa dan menari-nari menuju jalan buntu yang lapang, lingkungan yang setidaknya sedikit lebih baik daripada lingkungan lain di Baghdad.
Ketika kami sampai di tempat yang ingin mereka tunjukkan kepada kami, kami mendapati banyak orang yang berkerumun di sekitar mayat seorang pria yang tak kami kenali. Mayat pria tersebut masih dalam keadaan terikat.
Bekas-bekas siksaan masih terlihat jelas di sekujur tubuhnya. Kulitnya membengkak dan sudah berubah warna di bawah sinar matahari. Lalat-lalat banyak mengerumuni mayat pria malang tersebut, mendengung dengan suara aneh yang sama dengan suara anak-anak itu. Dalam ingatan saya, saya masih tidak dapat mengingat wajah pria itu, kecuali luka-lukanya saja.
Mayat yang kami dapati itu adalah korban pembunuhan yang dikarenakan oleh masalah politik. Ini adalah kekerasan sektarian (kelompok); ketika Baghdad sudah dikuasai oleh mayoritas Syiah yang telah lama ditindas oleh kelompok Sunni. Beberapa pejabat di bawah rezim Saddam Hussein, pun diusir dari kota dengan cara—kekerasan. Bagi Syiah, itu adalah pembalasan akibat kediktatoran dan tindakan semena-mena rezim Saddam Hussein selama beberapa dekade terhadap mereka. Dan bagi Syiah, meskipun Saddam telah lengser, itu tak ada artinya jika orang-orang Sunni masih memiliki uang, rumah, dan pekerjaan yang baik. Mayat yang kami temukan adalah salah satu korbannya. Mayat yang dimutilasi itu seolah menjadi sebuah peringatan kepada orang-orang: pergi atau ini akan terjadi pada kalian!
Mayat yang membuatku mual dan merasa jijik—telah diciptakan oleh gagasan keadilan oleh sekelompok orang. Itu adalah kasus pembunuhan yang mengatas namakan keadilan, apakah itu di Baghdad atau di Minneapolis: kejahatan pembunuhan yang tak terduga dibenarkan dalam arti yang buruk tentang keteraturan dan stabilitas. Hal ini mungkin cukup membuat Anda untuk mempertanyakan kembali keabsahan definisi “keadilan” yang dibuat oleh manusia selama ini.
Ada kesamaan antara tugas saya sebagai seorang tentara di Irak dan tugas polisi di Amerika. Dalam beberapa hal terdapat cerita tentang militerisasi polisi, tentang senjata dan taktik yang seharusnya lebih cocok di medan perang, alih-alih digunakan secara serampangan di jalan-jalan Amerika. Di sisi lain petugas polisi militer, Angkatan Darat, dipaksa untuk memainkan berbagai peran yang sebenarnya bukan bidang mereka, seperti: perencanaan kota, kesehatan masyarakat, penegakan hukum, dan lain-lain. Keduanya nampak muncul karena alasan materil dan kesediaan untuk menambah anggaran polisi dan Pentagon sembari memberikan layanan—bagi masyarakat sipil.
Namun, di sana juga terdapat kegagalan imajinasi moral yang menyertainya; Baik polisi dan tentara sama-sama diberi wewenang oleh negara untuk melakukan kekerasan atas nama keadilan dan stabilitas. Ketika terjadi suatu masalah, mereka akan diberi wewenang, yang dalam parameter hukum tertentu (yang tak jelas) untuk mengubah masalah tersebut menjadi sebuah mayat. Inti dari kekerasan polisi dan perang adalah kerangka moral yang selalu menghubungkan antara "keadilan" dengan kematian.
***
Mayat yang—saya saksikan di Irak tentu memiliki sejarah panjang sebagai bukti dari pergolakan politik. Mungkin contoh yang terkenal—dapat kita temukan dalam catatan Sophocles 'Antigone' —atau yang lebih dikenal dengan “Drama Theban”. Drama itu dimulai dari kisah kematian Oedipus, yang mana kemudian putra-putranya, Eteocles dan Polynices bersaing untuk memperebutkan tahta sang ayah. Polynices yang kehilangan haknya kemudian menyewa pasukan asing untuk menyerang Thebes. Ini adalah pertaruhan. Jika dia menang, dia akan mendapatkan haknya. Tetapi jika dia kalah, dia akan dicap sebagai pengkhianat di tanah airnya.
Namun dalam pertempuran berikutnya, kedua saudara itu terbunuh dan akhirnya menyisakan paman mereka, Creon, yang seharusnya bertanggung jawab atas insiden itu. Dan di sini lah cerita Antigone dimulai. Setelah pertempuran yang mengerikan itu, dengan mayat-mayat yang bergelimpangan di pinggiran kota. Saudari perempuan mereka, Antigone, di awal cerita nampak begitu menyesal:
"Eteocles, kata mereka, telah diberikan penghargaan militer penuh. Memang demikian—Creon telah membaringkannya di bumi, dan dia pergi dengan kemuliaan di antara orang mati. Tapi tubuh Polynices, yang meninggal secara mengenaskan—mengapa—seluruh kota melarang siapa pun untuk menguburkannya, bahkan meratapi dia; Dia harus ditinggalkan tanpa diundang, tidak terkubur, harta yang indah, untuk burung yang menatap medan perang dan berpesta ria."
Sebagai raja baru, Creon, memandang segala hal dari sisi yang berbeda. “Rakyatku, negara akan aman,” dia meyakinkan warga Theban. “Keamanan negara juga adalah keamanan kita,” katanya. Bagi Creon, siapa pun yang seperti Eteocles, yang mati mengorbankan nyawanya demi mempertahankan kota melawan pemberontak atau penjajah berhak untuk “dimahkotai sebagai seorang pahlawan."
"Tapi untuk saudara kandungnya, Polynices, yang kembali dari pengasingan ke kota ayahnya, dan para dewa dari rasnya, dituntut dengan satu keinginan—untuk membakarnya sampai habis—yang haus darah kerabatnya dan menjual sisanya untuk dijadikan budak: orang itu—dalam pengumumannya melarang kota itu untuk memuliakan dia (Polynices) dengan penguburan, bahkan berduka sama sekali. Tidak, dia harus dibiarkan tidak terkubur, mayatnya akan diberikan untuk burung dan anjing, sebagai peringatan untuk dilihat warga!"
Karakter keras Creon menentukan jalan cerita selanjutnya; dia tidak ingin melihat mayat Polynices tersebut dikuburkan dan dihormati oleh orang-orang, termasuk Antigone sendiri, kecuali sebagai sebongkah daging yang mati—dan sebagai peringatan bagi mereka yang ingin memberontak di masa depan.
Saat dia menemui tentaranya yang tampaknya bersimpati pada—Polynices, pun ia berkata: "Kalian bertanya—mengapa hal itu tidak dapat ditoleransi—katakanlah, apakah para dewa memiliki simpati—terhadap mayat itu?"
Pemikiran Creon ini merupakan salah satu bentuk dari apa yang kita kenal sebagai politik konvensional, yang hanya berfokus pada stabilitas negara. Creon menganggap manusia sebagai instrumen yang wajib melayani tujuan itu (negara). Hampir setiap negara dan setiap pemimpin politik dalam sejarah manusia menggunakan standar moral ini dengan dalih demi memperkuat "negara". Jarang sekali orang yang menawarkan pandangan berbeda tentang bagaimana kebaikan—Yesus, atau Antigone, misalnya—yang dibunuh atas nama stabilitas sosial dan keadilan politik.
Namun—stabilitas politik selalu saja berbanding lurus dengan pembunuhan politik. Ketika Ivan mengatakan dalam 'The Brothers Karamazov' bahwa kedamaian yang tinggi tidak sebanding dengan biaya seorang anak yang disiksa. Pernyataan ini lebih praktis dari kelihatannya. Karena ini bukan sekadar tentang anak-anak yang tersiksa, tetapi juga kedamaian yang tinggi—tidak akan pernah datang. Kekerasan atas nama keadilan selalu berakhir pada kematian atau pembantaian. Itu pula yang terjadi pada Antigone; ia diam-diam menguburkan jasat saudaranya, mengabaikan peringatan Creon. Sampai hal tersebut kemudian diketahui oleh Creon yang membuatnya harus meregang nyawa.
Dari cerita tersebut, memunculkan pertanyaan, apa sebenarnya yang melatarbelakangi tragedi ini? Jawabannya tentu saja “kematian”. Tapi sebenarnya tidak hanya kematian. Menurut Hegel, drama tersebut adalah sebuah tragedi yang menunjukkan bagaimana "benturan antara dua kekuatan moral" terjadi—yang satu untuk dewa dan keluarga, sementara yang lain untuk negara. Kedua kekuatan itu menarik, tetapi Hegel yakin, keduanya masih belum sempurna.
Penafsiran ini menuntut kita untuk memandang Creon begitu peduli dengan sesuatu yang lebih tinggi (negara) daripada sekadar mempertahankan otoritasnya sebagai raja. Kelihatannya Hegel, yang menulis di masa nasionalisme Jerman sangat bersimpati pada argumen yang menghargai stabilitas negara; “Creon,” tulis Hegel, “bukan lah seorang tiran, dia adalah wujud kekuatan moral. Dia tidak salah!” Mayat pria—yang saya temukan di Baghdad diikat dengan tali yang kuat. Ikatan ini, bagi saya, tak sekadar melambangkan keadilan politik atau kelompok.
Syiah yang telah disiksa secara massal selama beberapa dekade. Yang meskipun akhirnya setelah memiliki sedikit kekuatan, mereka pada gilirannya menyiksa dan membalas penghinaan yang pernah mereka terima sebagai simbol keadilan. Dan sama seperti Creon yang menderita karena kurangnya belas kasih terhadap musuh-musuhnya, saya mau tak mau harus menganggap bahwa pelaku mutilasi di Baghdad itu juga merupakan seorang "korban".
Kekerasan memang tampak menjadi energi yang mengambang bebas yang bergerak di tengah masyarakat, yang tidak manusiawi terhadap korban dan pelaku. Menurut ahli mistik Prancis, penulis dan filsuf Simone Weil, satu-satunya cara untuk memutus ikatan ini—jalinan hak-hak "alami" dan klaim atas otoritas—adalah dengan pedang supernatural.
Dalam 'Selected Essays'-nya, Weil menulis, “Dalam masalah-masalah penting mengenai keberadaan manusia, satu-satunya pilihan adalah memilih antara kebaikan supernatural di satu sisi dan kejahatan di sisi lain.” Tapi apa yang dia maksud dengan kebaikan "supernatural" ini?
Dalam istilah yang paling sederhana, Weil menyarankan bahwa ada hal-hal seperti “Kebaikan” yang dianggap ada di dalam masyarakat, pada dasarnya memiliki sifat yang berada di luar masyarakat. Kebenaran dan moralitas tidak bergantung secara historis, tetapi ada dalam bentuk utuhnya. Jadi, perjalanan kita menuju Kebaikan ini tidak lah mudah; ia tunduk pada perubahan waktu dan ego individu dan kelompok. Inilah, menurut Weil, mengapa begitu banyak tradisi spiritual dan keagamaan yang menekankan pentingnya menyucikan diri. Dia menulis:
"Demi mengosongkan diri kita dari keilahian palsu kita, demi menolak diri kita sendiri, untuk menyerah menjadi pusat dunia dalam kungkungan imajinasi, demi memahami bahwa semua titik di dunia adalah sama-sama pusat dan bahwa pusat yang sebenarnya ada di luar dunia, kita harus menyetujui aturan kebutuhan mekanis dalam materi dan pilihan bebas di pusat setiap jiwa. Hal itu adalah cinta. Wajah cinta yang mengarah kepada orang-orang yang berpikir adalah cinta sesama manusia."
Cinta demi kesejahteraan orang lain tidak mungkin tanpa pemusnahan ego sebagaimana yang Weil sampaikan. Weil, lebih jauh berpendapat, bahwa keduanya diperlukan untuk memahami realitas dengan jelas. Baginya, supernatural menjadi tempat—bagaimana seseorang bisa mencapai titik pandang yang lebih obyektif dalam memandang moralnya. Hanya definisi sekuler tentang keadilan yang ditakdirkan, pikir Weil, agar melemahkan cara pandang ideologi dan kekuasaan yang menggoda.
Para Nazi yang menghormati Creon dengan percaya diri juga menjunjung tinggi kebaikan. Pejabat negara yang mengeksekusi orang tak bersenjata, baik di kursi listrik atau di jalan, berpegang pada klaim,—bahwa ia sedang memenuhi kewajiban moral. Hal ini sejalan dengan konsepsi Weil tentang "keadilan alami", yang pernah dijelaskan Marie Cabaud Meaney dalam 'Simone Weil’s Apologetic Use of Literature': "memerintah di antara dua mitra setara yang saling memberikan hak mereka. Tapi ketika kesetaraan itu reda, maka mereka yang lebih kuat menggunakan kekuatannya untuk menindas kelompok yang lemah. Keadilan supernatural, sebaliknya, menghormati orang yang lebih lemah dalam segala hal dengan rasa welas asih yang tidak dapat dijelaskan dengan alami."
Mengingat Creon yang dahulu membunuh Antigone tanpa belas kasih mengingatkan saya terhadap pembunuhan keji George Floyd. Ketika saya melihat gambar Floyd sekarat di jalan di Minneapolis—lutut Derek Chauvin begitu mudahnya menekan leher Floyd yang akhirnya membuat Floyd mati. Ingatan itu membawa saya kembali ke jalanan Baghdad di mana anak-anak polos itu tertawa dan menari di sekitar mayat malang itu. Saya kira kedua hal tersebut tampaknya terhubung satu sama lain, keduanya berkontribusi pada pola kekerasan yang lebih besar, setidaknya—demi membenarkan konsepsi keadilan seseorang atau suatu kelompok. Jalan ini menciptakan dinding kemarahan dan dendam di mana banyak dari kita—bertanya-tanya apakah ada jalan keluar atau tidak.
***
Di separuh masa mudanya, Weil merupakan anggota kelompok sayap kiri. Dia mengajar para buruh, bekerja di pabrik dan menjadi sukarelawan kelompok Anarkis selama Perang Saudara di Spanyol. Jalan "supernatural" yang diambilnya menjelang akhir hidupnya bukanlah pengunduran dirinya dari politik, tetapi hasil dari pemahamannya tentang masalah kekerasan, atau yang disebutnya "kekuatan atau kekuasaan". Dalam esai briliannya 'The Iliad, atau Poem of Force', yang ditulis pada tahun 1939 dan diterjemahkan oleh Mary McCarthy untuk jurnal politik Amerika pada tahun 1945, Weil menggambarkan kekuasaan sebagai energi menggoda yang menjadikan kita sebagai sebuah wadah. Ia berkata dengan jelas:
"Pahlawan sejati, subjek sejati, pusat Iliad adalah kekuasaan. Kekuasaan yang digunakan oleh manusia, kekuasaan yang memperbudak manusia, kekuasaan yang sebelum daging manusia menyusut. Dalam karya ini, setiap saat, jiwa manusia ditampilkan sebagai hasil dari modifikasi oleh hubungannya dengan kekuasaan, tersapu dan dibutakan oleh kekuasaan yang ia kira dapat ia tangani, seperti—beban kekuasaan yang diserahkan padanya. Bagi para pemimpin yang menilai kekuasaan itu karena berkat kemajuan, akan segera menjadi bagian dari masa lalu, Iliad dapat muncul sebagai dokumen sejarah; bagi yang lain, yang kekuasaannya lebih tajam dan—, hari ini seperti kemarin, di pusat sejarah manusia, Iliad adalah cermin yang paling murni dan terindah."
Ini adalah gagasan radikal yang menunjukkan bahwa kekuasaan selalu merupakan kekuatan yang merusak dan membutakan; bahwa itu membuat siapa pun yang tersentuh olehnya menjadi benda: baik dalam arti harfiah sebagai mayat maupun dehumanisasi.
Etika supernatural Weil membuat tuntutan yang luar biasa menjadi mustahil bagi kita, bahwa kekerasan tidak sebanding dengan kebenaran. Kita juga harus mengakui bahwa kekerasan tidak pernah dibenarkan dan bahwa balas dendam tidak akan pernah mengarah pada keadilan, bahkan untuk mereka yang tidak mampu secara sosial. Diharapkan pemikiran supernatural Weil ini juga bisa menahan keinginan kita untuk memperlakukan orang lain sebagai alat demi tujuan kita sendiri. Inti dari etika supernatural Weil terletak pada apa yang tampak seperti sebuah kontradiksi. Meaney menulis, "kewajiban mutlak melekat pada objek yang terbatas," karena dari kontradiksi itulah Weil membentuk inti filosofi moralnya.
Bagi Weil, ketika aparat negara melakukan kekerasan, secara moral mereka salah. Di sisi lain, konsepsi supernatural tentang keadilan juga menuntut kita untuk memberikan kasih sayang kepada mereka yang juga dinilai sebagai pelaku kekerasan. Lagipula, Polynices bukan hanya korban. Dia juga pelaku. Berperang dan membunuh dan jika seandainya dia berhasil dalam pertempuran saat itu, ia mungkin akan menjajah Thebes dan menjual warganya sebagai budak. Namun demikian, Antigone tetap menghormatinya dengan menguburkannya. Mengapa? Karena, “Saya,” jawab Antigone, “dilahirkan dalam cinta, bukan kebencian—itulah sifat saya.”
Lalu, kira-kira, kacamata apa yang kita perlukan untuk melihat musuh kita lebih dari sekadar musuh? Hati seperti apa yang kita butuhkan untuk mencintai mereka? Dalam sebuah esai tahun 1947 yang berjudul 'Void and Compensation', Weil menulis, “Saya juga, selain dari apa yang saya bayangkan. Saya menyadari ini sebagai pengampunan." Kalimat itu mencerminkan keyakinannya bahwa cinta yang dalam dimulai dari pengampunan atau sikap saling memaafkan, termasuk memaafkan kesalahan orang lain.
Bau busuk mayat—di Baghdad alih-alih membuatku ingin menciptakan lebih banyak mayat, justru membuatku ingin menghilangkan "kekuatan" yang telah menciptakan mayat ini dan mengakhirinya. Perasaan ini tumbuh ketika semakin banyak mayat yang saya temukan: apakah mereka "milik kami" atau "milik mereka" menjadi hal yang tampak berbeda—sama persis dengan konsepsi yang terlalu manusiawi tentang keadilan yang telah memotivasi seseorang atau kelompok untuk menciptakan mayat-mayat itu.
Jalanan adalah tempat yang inspiratif. Ini bisa menjadi garis batas yang memisahkan satu sisi dari sisi yang lain: korban yang sempurna di satu sisi dan pelaku yang sempurna di sisi lain. Polisi di satu sisi, pengunjuk rasa di sisi lain. Tapi itu juga bisa menjadi jalan ke tempat lain, entah lebih baik atau lebih buruk. Seperti tanda-tanda yang ada: tanpa keadilan, tidak ada perdamaian. Weil mungkin menambahkan: tanpa cinta, tidak akan ada keadilan.
Essai ini ditulis oleh Scott Beauchamp dengan judul asli "The Problem of Force: Simon Weil’s Supernatural Justice" Diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Fadlan.
Penulis