SATU yang selalu gemar kucendang,
satu yang selalu kusadar
yakni pandangan palsu,
yang melahirkan candu,
dan seringai legit menciptakan rindu.
yakni pandangan palsu,
yang melahirkan candu,
dan seringai legit menciptakan rindu.
kala mentari terbenam
kala binar senja menyilaukan tatapan,
kau berkaca-kaca di balik corak gelisah,
bayangmu perkasa, bak putri seorang raja
terakhir
kudengar engkau berduka atas
garis hidupmu,
yang melahirkan
seringai legitmu.
andaikan engkau sudi menjadi permaisuriku,
tak bakal kubiarkan kekelaman melekatimu.
Puspa yang Kembali Mekar
KISAH balik yang sudah berselang,
ku teringat seringai legitmu di jendela mobil, seraya engkau berceloteh, "jaga hatimu untukku."
ku teringat seringai legitmu di jendela mobil, seraya engkau berceloteh, "jaga hatimu untukku."
duhai permaisuriku,
engkau datang kembali di kala ku tengah menjerit membekukan rasa sakit
kita lerai sebab ruang dan waktu,
namun kita kembali dipertemukan
karena sang kala,
yang melahirkan puspa yang mekar nan indah.
Si Tuan Hati
KAU tak bakal jadi kepunyaanku;
namun ku selalu jadi kepunyaanmu,
engkau begitu indah bagiku yang lesu nan kotor, mereka berkunjung kepadaku seraya bertanya "kamu siapa?"
namun ku selalu jadi kepunyaanmu,
engkau begitu indah bagiku yang lesu nan kotor, mereka berkunjung kepadaku seraya bertanya "kamu siapa?"
aku bukanlah seorang pujangga bestari,
aku sejawat berego
dan kemurkaanmu yang selalu di sisimu
sampai kita menjelma sepasang kekasih
yang berbalas cinta dan asih.
Egomu Sahabatku
SETIAP saat ku selalu menggisar otakku, setiap saat aku bertikai bersama hatiku;
"cara apalagi" pintaku di keheningan,
segala kaidah telah kulakukan,
jari-jemariku tak jeda membongkar materi,
yang melahirkan kesenangan
dan melukiskan seringai legit biraimu
namun tak selalu pantas seperti itu,
ada kalanya engkau yang beralih
satu arah,
aku yang kau sambut,
coba lah mengelih dari penjuru
penglihatanku,
tak harus lewat batas asumsi tentangku,
supaya kau kenal;
aku jua mempunyai ego.
Cair yang Membeku
KALA senja bergegas pergimembelakangimu, percayalah
ia bakal pulang di jemah musim,
kala fajar melupakan binarnya,
ketahuilah ia bakal bertolak di senja hari
bahkan cerminanmu bertolak dalam kelam, mencadangkan cacat
yang memerihkan,
lamun indah seringaimu tak bakal buyar
kendati, pun telah tergores pedang.
bodoh jika aku melepaskanmu.
maaf membuat batinmu sengsara,
engkau melacak entitas yang beralamat
dan jangkap
melamunkan hati yang menampung;
kau dan kurangmu
kendati, pun
watakmu yang lebur
telah mengeras,
izinkan aku mengesat bengis
dan balik menjelma irama pembawa tidur.
Moh Swadik, Mahasiswa IAIN Palu
Penulis