Loading...
Puisi Filsafat

SATU yang selalu gemar kucendang,
satu yang selalu kusadar 
yakni pandangan palsu, 
yang melahirkan candu, 
dan seringai legit menciptakan rindu.

kala mentari terbenam
kala binar senja menyilaukan tatapan, 
kau berkaca-kaca di balik corak gelisah,
bayangmu perkasa, bak putri seorang raja

terakhir 
kudengar engkau berduka atas 
garis hidupmu, 
yang melahirkan 
seringai legitmu.

andaikan engkau sudi menjadi permaisuriku, 
tak bakal kubiarkan kekelaman melekatimu.

Puspa yang Kembali Mekar

KISAH balik yang sudah berselang, 
ku teringat seringai legitmu di jendela mobil, seraya engkau berceloteh, "jaga hatimu untukku."

duhai permaisuriku, 
engkau datang kembali di kala ku tengah menjerit membekukan rasa sakit

kita lerai sebab ruang dan waktu, 
namun kita kembali dipertemukan 
karena sang kala, 
yang melahirkan puspa yang mekar nan indah. 

Si Tuan Hati

KAU tak bakal jadi kepunyaanku;
namun ku selalu jadi kepunyaanmu, 
engkau begitu indah bagiku yang lesu nan kotor, mereka berkunjung kepadaku seraya bertanya "kamu siapa?"

aku bukanlah seorang pujangga bestari, 
aku sejawat berego 
dan kemurkaanmu yang selalu di sisimu
sampai kita menjelma sepasang kekasih 
yang berbalas cinta dan asih.

Egomu Sahabatku

SETIAP saat ku selalu menggisar otakku, setiap saat aku bertikai bersama hatiku;

"cara apalagi" pintaku di keheningan, 
segala kaidah telah kulakukan, 
jari-jemariku tak jeda membongkar materi, 
yang melahirkan kesenangan 
dan melukiskan seringai legit biraimu

namun tak selalu pantas seperti itu,
ada kalanya engkau yang beralih
satu arah,
aku yang kau sambut, 
coba lah mengelih dari penjuru 
penglihatanku, 
tak harus lewat batas asumsi tentangku, 
supaya kau kenal;
aku jua mempunyai ego.

Cair yang Membeku

KALA senja bergegas pergi 
membelakangimu, percayalah 
ia bakal pulang di jemah musim, 
kala fajar melupakan binarnya,
ketahuilah ia bakal bertolak di senja hari

bahkan cerminanmu bertolak dalam kelam, mencadangkan cacat 
yang memerihkan, 
lamun indah seringaimu tak bakal buyar
kendati, pun telah tergores pedang.

bodoh jika aku melepaskanmu.
maaf membuat batinmu sengsara, 
engkau melacak entitas yang beralamat 
dan jangkap
melamunkan hati yang menampung;
kau dan kurangmu

kendati, pun 
watakmu yang lebur 
telah mengeras, 
izinkan aku mengesat bengis 
dan balik menjelma irama pembawa tidur.

Moh SwadikMahasiswa IAIN Palu

Lebih baru Lebih lama