Loading...

Pada akhir masa perang dunia ke-2, Simone de Beauvoir dan Jean-Paul Sartre melancarkan "kritik eksistensialis", sebuah kampanye yang ambisius untuk menciptakan gaya budaya dan politik baru. Kata 'eksistensialisme' adalah neologisme populer tanpa arti yang jelas. Mereka ingin mendapatkan keuntungan — dengan menjadikan filsafat mereka sebagai definisinya.

Kuliah Sartre dengan tema “Eksistensialism is a Humanism”  langsung melegenda. Tempat itu menjadi sangat ramai dan penuh sesak. Kerumunan orang tumpah ruah ke jalan. Fasilitas rusak. Orang-orang pingsan dan dibawa keluar. Sartre pun maju ke podium, di mana ia akan menyampaikan pidato epiknya.

Beberapa minggu kemudian, karya Beauvoir — diterbitkan dengan tema "Existentialism and Popular Wisdom" dalam edisi ketiganya yang diterbitkan di Les Temps Modernes, sebuah jurnal budaya dan politik yang didirikan oleh mereka berdua. Ini adalah catatan kunci dari kuliah, artikel, drama, dan novel mereka — yang dengan lugas menetapkannya — sebagai pusat pemikiran Eropa.

Belakangan, bacaan-bacaan sekunder, baik berupa buku maupun artikel, yang secara luas membahas eksistensialisme pun ikut bermunculan. Kita mengenal beberapa tokoh yang menulis buku-buku fiksi eksistensialis, seperti Fyodor Dostoyevsky, Franz Kafka, Albert Camus, dan Jean-Paul Sartre, terkadang juga ada yang menambahkannya dengan beberapa tokoh-tokoh lain seperti Samuel Beckett atau Herman Hesse.

Sementara buku-buku filsafat eksistensialis pun lazimnya kita hanya mengenal beberapa tokoh-tokoh mashur saja, seperti Søren Kierkegaard, Friedrich Nietzsche, Martin Heidegger, dan Jean-Paul Sartre, dan beberapa di antaranya juga termasuk Karl Jaspers dan Gabriel Marcel.

Namun demikian, laiknya sihir, salah satu dari dua tokoh besar eksistensialis kita telah hilang dari pandangan. Benar, tulisan-tulisan Sartre berhasil masuk di dua jenis kanon eksistensialisme — tersebut, namun sayang, tulisan-tulisan Beauvoir tidak masuk di antara keduanya. Baik fiksi maupun non-fiksi. Kenapa ini bisa terjadi? Apa sebenarnya perbedaan antara Beauvoir dan para filsuf laki-laki tersebut yang karyanya diidentifikasikan sebagai pemikiran eksistensialisme?

Ini cukup membingungkan. Padahal, kebanyakan dari mereka — ada yang tidak menyebut diri mereka sebagai seorang eksistensialis. Bahkan sebagian besar dari mereka meninggal sebelum kata “eksistensialis” itu diciptakan — atau ada pula yang secara jelas menyangkal bahwa "eksistensialis” adalah deskripsi yang pas untuk pemikiran mereka.

Memang, satu-satunya dari orang-orang ini yang dengan jelas dan tegas melabeli karya mereka sebagai karya eksistensialisme hanya lah Sartre dan Beauvoir. Keduanya mendefinisikan istilah tersebut dengan filosofi mereka sendiri. Namun, fakta canggung ini diabaikan dalam kebanyakan literatur-literatur sekunder yang ada. Seringkali dengan pemikiran yang meragukan bahwa seorang eksistensialis sejati mungkin seharusnya menolak pelabelan tersebut.

Dan bahwa para pemikir dan beberapa karya baru yang tidak memiliki kesamaan secara teoritis sebagai eksistensialis pun juga dianggap tidak penting dalam literatur-literatur sekunder, biasanya dengan cara yang sederhana — menyatakan bahwa eksistensialisme itu laiknya sebuah keluarga yang umumnya memiliki "kemiripan.”

Perdebatan tentang hubungan Beauvoir dan eksistensialisme ini muncul dikarenakan orang-orang hanya sekadar memahami eksistensialisme tanpa merujuk pada filosofinya.

Lalu, bagaimana tepatnya hubungan Beauvoir dengan keluarga besar eksistensialis ini? Eksistensialisme telah dibaca sebagai gagasan turunan yang hanya mendramatisasi dan menarik implikasi etis dari filsafat Sartre. Padahal, sebaliknya, Beauvoir sendiri merupakan nenek moyang filsafat eksistensialisme Sartre yang tidak diakui.

Dan dia sudah dianggap berada di luar keluarga eksistensialis, hanya karena perbedaan filsafatnya dengan Sartre mengenai pilihan manusia atau kebebasan manusia.

Perdebatan tentang hubungan Beauvoir dan eksistensialisme ini muncul dikarenakan orang-orang hanya sekadar memahami eksistensialisme tanpa merujuk pada filosofinya. Jika sekarang kita mencoba untuk menambahkannya ke catatan-catatan utama eksistensialis, mentok-mentok kita hanya dapat membuat tiruan atau penggambaran yang hanya menekankan karakteristik yang dia bagikan pada catatan-catatan itu saja. Karena filsafatnya — dibangun di antara dua ciri khas yang bahkan tidak mereka miliki.

Salah satunya adalah “teori sedimentasi.” Beauvoir berpendapat bahwa semakin lama kita mendukung suatu nilai atau pandangan, maka secara bertahap, nilai tersebut akan tertanam kuat dalam pikiran kita, sehingga akan sulit bagi kita untuk menolaknya. Pandangan Beauvoir ini dengan jelas bertentangan dengan pandangan Sartre, yang sering dianggap paling penting bagi Mazhab Eksistensialisme. Sartre berpandangan bahwa kita memiliki 'kebebasan mutlak' untuk mengabaikan atau menolak nilai dan gagasan kita.

Alasan lainnya, bagi Beauvoir, bahwa adalah sebuah keharusan secara moral untuk menghormati dan mengaungkan kebebasan manusia. Sebaliknya, ini bertentangan dengan gagasan eksistensialisme pada umumnya yang mana menolak gagasan tentang segala bentuk moralitas yang mengikat, baik secara obyektif maupun universal. Buku Beauvoir yang terbaru, Pyrrhus et Cinéas, pun justru hadir sebagai argumen yang mengkritik pandangan eksistensialisme ini.

Olehnya, untuk membuat eksistensialis yang hilang muncul kembali, kita perlu menilik ulang arti dan defenisi eksistensialisme. Dan, kembali ke karya kritik eksistensialis dan teks yang sudah diringkas oleh Beauvoir, menjadikan filosofi — dari teks-teks tersebut sebagai definitif eksistensialisme, dan menjadikan perdebatan mereka (Sartre dan Beauvoir) tak lebih dari sekadar perselisihan teoretis dalam eksistensialisme.

Dan di lain sisi, kita— juga musti mengklasifikasikan penulis-penulis lain, apakah mereka termasuk seorang eksistensialis atau tidak dengan merujuk pada definisi inti ini, dan memungkinkan karya mereka memperluas — definisi ini dan juga berkontribusi untuk menyelesaikan perselisihan di antara mereka.

Ini tidak hanya akan meluruskan catatan sejarah. Itu juga akan menunjukkan kemajuan filosofis yang diputar pada kecepatan yang tepat, yang pada gilirannya akan memungkinkan kita untuk memahaminya dengan lebih baik.

• • • 

Essai ini ditulis oleh Jonathan Webber (Profesor bidang filsafat Cardiff University dan juga penulis buku 'Rethinking Existentialism') dengan judul asli “The Mysterious Case of the Disappearing Existentialist”. Diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Fadlan A.M Noor.

Lebih baru Lebih lama