Saya juga menyadari bahwa mungkin ada beberapa ateisme yang percaya bahwa hal-hal gaib (spiritual) itu dapat menyatukan setiap orang atau semua makhluk hidup.
Di lima wawancara sebelumnya dalam sesi ini, kita telah mempelajari bagaimana pandangan Buddha, Jainisme, Tao, Yahudi dan Kristen tentang kematian dan kehidupan setelah kematian. Namun, bagaimana dengan mereka yang tidak memiliki agama atau kepercayaan tentang Tuhan? "Mengapa tidak," beberapa pembaca bertanya, "mewawancarai seorang ateis?" Jadi, kami pun melakukannya.
Narasumber saya hari ini adalah Todd May, dia sudah menerbitkan 16 buku filsafat mulai dari pemikiran Prancis terkini hingga etika kontemporer. Buku-bukunya—termasuk "A Significant Life," "A Fragile Life" dan, yang terbaru, "A Decent Life: Morality for the Rest of Us"—yang menyelidiki makna hidup, penderitaan, dan juga moralitas. Karyanya bahkan sudah pernah ditampilkan di salah satu acara televisi "The Good Place", di mana ia bertugas—sebagai seorang "konsultan filosofis".
Wawancara ini dilakukan melalui email dan sudah diedit.—George Yancy
George Yancy: Dalam buku Anda "Death," Anda dengan jelas menyatakan, "Sebagai catatan, saya seorang ateis (itulah sebabnya saya tidak percaya pada kehidupan setelah kematian)." Cornel West mungkin lebih suka menyebutnya dengan "kuliner cacing tanah". Jadi, saya berpikir bahwa (seperti seekor cacing tanah) Anda percaya bahwa hidup hanya berakhir di sana, tanpa berpikir bahwa (mungkin saja) ada kehidupan lain di luar cacing. Apakah semua ateis percaya dengan ini?
Todd May: Pertama-tama, George, saya berhutang budi kepada Anda karena sudah membuat sesi seperti ini. Sebagai manusia, menghadapi kematian adalah salah satu "tugas" paling penting sekaligus sulit yang musti dihadapi. Sungguh menginspirasi ketika melihat bagaimana setiap kepercayaan atau agama bergulat dengan tugas pelik semacam ini.
Untuk memperjelas bagaimana posisi saya, adalah perlu untuk menegaskan bahwa saya berbicara bukan sebagai perwakilan ateisme. Ada banyak jenis ateisme, namun semuanya memiliki kesamaan: menyangkal kekuatan/tuhan/dewa supernatural.
Posisi ateisme saya sendiri sama; menyangkal hal-hal yang sifatnya supernatural (atau kegaiban) dan segala bentuknya. Misalnya membedakan antara jiwa dan tubuh, jiwa yang abadi, reinkarnasi, dan lain sebagainya. Namun, saya juga menyadari bahwa mungkin ada beberapa ateisme yang percaya bahwa hal-hal gaib (spiritual) itu dapat menyatukan setiap orang atau semua makhluk hidup. Meskipun pandangan seperti itu tidak membutuhkan eksistensi Tuhan. Namun demikian, ini bukanlah jenis ateisme yang saya anut.
Ateisme saya membuat saya berpikir bahwa mereka yang masih percaya pada hal-hal supernatural adalah salah. Namun, entah mengapa, hal tersebut tetap membuat saya memikirkan—keyakinan mereka. Ini adalah perbedaan penting yang saya kira perlu untuk diperjelas terlebih dahulu, karena ini adalah hal yang kerap kali hilang dalam diskusi-diskusi ateisme.
Memang benar bahwa banyak kesalahan fatal yang sering dilakukan atas nama agama. Saat ini, hak perempuan atas tubuhnya terancam oleh para penggila agama. Di sisi lain, selama beberapa dekade, saya telah terjun dalam dunia politik—dan tak jarang beberapa orang—yang saya kenal di dunia politik seringkali bertindak berdasarkan agama yang mereka anut.
Singkatnya, ateisme adalah pandangan—atau sekumpulan pandangan—tentang hal-hal yang supernatural; Namun, ini bukan pandangan tentang orang-orang yang percaya pada hal-hal gaib.
Yancy: Saya sepakat dengan Anda bahwa (sebagaimana orang lain) ateis tidak dapat menghindarkan diri mereka untuk berbuat salah, namun menurut saya tidak ada ateis yang melakukan kesalahan dengan mengatas namakan ateisme. Bagaimana menurut Anda?
May: Apakah ateis melakukan kesalahan atas nama ateisme adalah pertanyaan yang rumit. Uni Soviet, misalnya, menganiaya orang Yahudi dan orang beragama lain atas nama doktrin yang mereka anggap berhubungan dengan ateisme, dan hari ini pemerintah China pun juga melakukan genosida terhadap orang-orang Uighur karena alasan yang sama. Bahkan meskipun kita mengesampingkan itu, sikap beberapa tokoh ateis terkenal yang merendahkan penganut agama—terus terang, bukanlah hal yang patut untuk dibanggakan. (Meskipun, sepanjang sejarah, kami, para ateis, kerap menjadi korban perundungan agama.)
Yancy: Jika mereka percaya pada hal yang secara epistemologis salah, apakah Anda merasa perlu untuk memberi tahu mereka bahwa mereka salah, atau apakah Anda hanya akan membiarkan mereka (penganut agama tersebut) memeluk keyakinan yang menurut Anda salah?
May: Bagi saya, memperdebatkan benar atau tidaknya kepercayaan tentang hal-hal gaib itu sangat bergantung pada konteksnya. Misalnya, saya biasanya memberikan konseling sukarela di rutan—di mana keimanan atau kepercayaan para napi itu penting dalam menopang mereka secara psikologis. Maka, adalah tidak etis bagi saya apabila saya tetiba mendebat mereka bahwa kepercayaan yang mereka anut itu salah.
Mereka menganut agama yang berbeda-beda, dan mereka tahu bahwa saya adalah seorang ateis, namun kami sering duduk bersama—membahas ide-ide filsafat, dan sering kali membandingkan bagaimana keyakinan mereka yang berbeda tersebut mungkin dapat menerima atau menolak ide-ide ini.
Alternatifnya, jika ada seseorang yang menggunakan keyakinan agamanya untuk merendahkan orang lain, mendebat atau menantang keyakinan seperti itu mungkin merupakan konfrontasi yang bisa dibenarkan. Dan untuk alasan yang berbeda, diskusi filosofis tentang hal-hal gaib akan menjadi tempat yang tepat untuk membantah agama.
Yancy: Apakah ateisme Anda bersesuaian dengan pandangan naturalisme? Jika ya, dalam hal apa?
May: Mengenai naturalisme, seperti ateisme, lagi-lagi ada banyak ragamnya. Pemikiran mereka berkisar dari bagaimana pandangan mereka terhadap realitas dengan lebih radikal—bahwa tidak ada entitas apapun selain daripada partikel dan kekuatan—hingga sesuatu yang lebih kuat yang melibatkan pikiran, relasi, dan sebagainya. Diskusi tentang naturalisme cenderung rumit. Misalnya, apakah pandangan monist—bahwa hanya ada satu jenis benda di alam semesta—menunjukkan bahwa "hubungan antar individu" itu tidak ada, hanya materi?
Naturalisme saya sendiri tidak begitu radikal. Naturalisme saya tidak lebih dari sekedar penolakan terhadap hal-hal gaib atau supernatural. Di luar itu, saya juga berkomitmen pada keberadaan apa pun yang perlu—untuk menjelaskan tentang bagaimana pengalaman saya terhadap dunia. Meskipun kedengarannya tidak jelas dan umum, mungkin memang seharusnya begitu. Hanya saja saya tidak membutuhkan sesuatu yang gaib untuk menjelaskan hal-hal seperti itu. Ateisme saya sangat jelas.
Yancy: Penyangkalan Anda terhadap hal-hal gaib dan segala bentuknya ini nampaknya mirip dengan tanggapan Pierre-Simon Laplace ketika Napoleon bertanya kepadanya mengapa tidak ada kata Tuhan dalam kosmologinya. Laplace berkata, "Saya tidak membutuhkan hipotesis seperti itu." Setidaknya, Laplace tidak mengklaim bahwa Tuhan itu tidak ada. Laplace hanya berkata bahwa "dia tidak membutuhkannya." Jadi, mungkin pengalaman ateisme Anda hanya berkisar pada ketidakbutuhan Anda kepada Tuhan, atau kepercayaan Anda pada jiwa yang tetap hidup meskipun tubuh sudah mati.
Namun, mengingat pengalaman Anda yang selalu terbuka—apakah Anda membenarkan bahwa, boleh jadi, pandangan supernaturalisme atau hal-hal yang berkenaan dengan persoalan gaib dapat berperan penting dalam hidup Anda?
May: Itu benar, meskipun kemungkinannya kecil. Inilah alasannya. Penjelasan ateisme saya tentang kejadian-kejadian tertentu—juga merupakan bagian dari jaringan kepercayaan. Jika jaringan kepercayaan itu sifatnya naturalis, maka ketika ada hal-hal yang tidak dapat saya jelaskan, saya akan mencari cara yang naturalis juga untuk menjelaskannya, atau sebagai alternatif, saya akan mengatakan bahwa saya belum dapat menemukan penjelasan yang pas untuk menjawab hal-hal tersebut. Ini juga berlaku bagi mereka yang memiliki kepercayaan yang supernaturalis atau mereka yang percaya pada hal-hal gaib.
Untuk beberapa orang Kristen, misalnya, fakta "kejahatan" seperti meninggalnya anak-anak malang yang tidak bersalah karena kemiskinan itu sulit didamaikan dengan kepercayaan bahwa ada Tuhan yang baik hati di surga. Alih-alih menyerah pada keberadaan Tuhan, mereka hanya memberikan penjelasan rumit demi mempertahankan imannya.
Tidak satu pun dari hal ini menyatakan bahwa melakukan perubahan—keyakinan mustahil untuk dilakukan. Ini memang terjadi pada orang-orang yang—sudah kehilangan pandangannya tentang agama. Orang Yahudi, misalnya, banyak yang melepaskan iman mereka setelah terjadinya Holocaust (karena Tuhan yang baik hati itu tidak pernah datang menolong mereka). Sebaliknya, ini justru menunjukkan bahwa naturalisme dan supernaturalisme (mempercayai hal-hal gaib) laiknya sebuah tumpuan di mana kita biasanya menguji dan/atau memodifikasi keyakinan kita.
Yancy: Dari apa yang sudah Anda jelaskan sejauh ini, nampaknya Anda tidak mencoba untuk "menyebarkan agama (baca: ateisme)" kepada orang lain untuk menolak hal-hal gaib. Namun, penolakan Anda atas kehidupan setelah kematian harus lebih dari sekadar penolakan, katakanlah, ketika Anda menolak pai blueberry, di mana penolakan ini hanya tentang masalah rasa. Jadi, terlepas dari rasa, mengapa mereka yang percaya pada alam akhirat atau Tuhan harus terus percaya, dan/atau mengapa mereka yang tidak percaya harus terus tidak percaya pada hal-hal itu? Bukan kah ini hanya soal rasa?
May: Hei, sejak kapan saya tidak suka pai blueberry? Saya tidak pernah mengatakan itu.
Selain pai blueberry, bagaimana pun, ini bukan hanya soal rasa. Bagi mereka yang menganut pandangan-pandangan religius—dengan adanya hal-hal gaib dalam hidup mereka, itu dapat membantu mereka untuk memahami posisi mereka di alam semesta dan bagaimana cara mereka hidup. Hal tersebut juga mempengaruhi cara mereka berpikir tentang kematian. Bagi mereka, ini bukan hanya soal selera. Ini adalah pertanyaan tentang—tempat atau posisi, dan apa peran mereka selama di dunia.
Hal yang sama juga berlaku kepada saya dan naturalisme saya. Saya sangat percaya—bahwa kita tidak berada di sini dengan alasan atau tujuan tertentu, sebagaimana apa yang penganut agama percayai. Kita hanya lahir, hidup, dan akhirnya mati. Namun ini bukan berarti—saya tidak percaya pada moralitas; sebaliknya, saya mendasarkan moralitas dan nilai-nilai kemanusiaan dengan cara yang berbeda. Nyatanya, saya telah menulis buku tentang kebermaknaan hidup. Hal ini juga berarti bahwa saya dan kematian saya adalah dua hal yang berbeda.
Yancy: Jadi, sebagai seorang ateis, bagaimana Anda melihat tentang fakta bahwa suatu saat Anda akan mati, sebagaimana yang akan terjadi kepada kita semua?
May: Di sini ada paradoks, yang saya tulis di buku saya tentang kematian. Pertama, kematian adalah hal yang mengancam makna kehidupan kita. Mengapa? Karena kehidupan kita berorientasi pada masa depan. Maka yang terpenting ialah bagaimana keterlibatan kita—karier, hubungan, hobi, dan lain-lain. Sementara, kematian akan memisahkan kita dari itu semua. Dan, adalah penting untuk dicatat bahwa karena kita bisa mati kapan saja, itu berarti bahwa ancaman tersebut akan berlangsung terus-menerus. Singkatnya, kita hidup di bawah bayang-bayang kematian.
Kedua, kalau kematian tidak ada, hidup kita akan menjadi tidak terarah dan acak. Adanya kematian dapat membantu antusiasme kita dalam hidup. Jika kita hidup selamanya, seperti yang dijelaskan oleh beberapa filsuf, akan sulit untuk mempertahankan antusiasme kita dalam hidup. Olehnya, untuk mengetahui alasannya, kita perlu mengetahui berapa lama kita hidup.
Jadi bagaimana kita hidup dengan paradoks seperti ini? Saya menyarankan agar kita berusaha untuk hidup di dua hal ini sekaligus; Pertama, kita musti terlibat dalam segala alur kehidupan—ke depan, itu adalah hal yang tidak dapat dihindari oleh manusia. Karena hidup tanpa keterlibatan tertentu, merupakan kehidupan yang tandus.
Kedua, kita harus berusaha hidup sebaik mungkin. Alih-alih hanya melihat ke depan, kita harus menikmati kehidupan kita saat ini—dengan menyadari bahwa masa depan bisa pergi kapan saja. Ini semacam visi stereoskopis yang berorientasi ke masa depan sembari tenggelam di masa kini.
Saya tidak mengatakan bahwa ini mudah. Bagi saya sendiri, hidup dengan baik di masa sekarang pun sulit bagi saya. Tetapi saya telah mencapai tahap di mana saya dapat melihat dengan lebih jelas pantai yang jauh daripada pantai yang dekat.
Yancy: Sebagai seorang ateis, apakah ada sesuatu yang Anda "ketahui" tentang kematian yang Anda anggap harus diketahui oleh agama lain sebagaimana topik kita pada wawancara kali ini, yaitu tentang kematian?
May: Sulit untuk menyebutnya masalah "mengetahui", karena saya cukup yakin tidak ada kehidupan setelah kematian sementara beberapa agama justru membenarkannya.
Yancy: Terakhir, saya harus menanyakan ini: Mari kita asumsikan bahwa hakikat realitas tidak dapat diselesaikan oleh kepercayaan yang berdasarkan gagasan naturalisme. Bagaimana jika setelah Anda mati, kesadaran Anda bertahan, dan menunjukkan kepada Anda bahwa kepercayaan pada hal-hal gaib atau supernaturalisme selama ini benar? Ada pendapat?
May: Jika saya membayangkan dihidupkan kembali sebagai sesuatu yang masih dapat saya kenali di akhirat nanti, mungkin pertama-tama saya berharap "Semoga tidak ada pai blueberry di sini."
• • •
Essai ini ditulis oleh George Yancy (seorang Profesor Filsafat di Emory University,) dengan judul asli “How Should an Atheist Think About Death?” . Diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Fadlan.
Penulis