Loading...

Di tengah pandemi Korona seperti ini banyak aspek-aspek kehidupan kita yang secara mengejutkan berubah, baik dalam aspek sosial, ekonomi, kesehatan, keseharian, bahkan hingga aspek pendidikan.

Pendidikan merupakan bagian yang tidak terpisahkan di masyarakat. Dengan demikian sudah seharusnya pemerintah dan masyarakat bahu-membahu untuk memberikan perhatian lebih terhadap pendidikan, karena kemajuan suatu bangsa tak lain adalah berkat kemajuan sumber daya manusianya, dan kemajuan sumber daya manusia adalah berkat kemajuan pendidikannya.

Namun, dalam situasi pandemi seperti sekarang ini, negara mau tidak mau terpaksa harus membatasi interaksi sosial (physical distancing) masyarakat secara langsung—menutup berbagai aktifitas yang berkaitan dengan hubungan komunal, yang kemudian dialihkan dalam dimensi jaringan internet. Pun, kita juga dapat melihat bahwa beberapa hal dalam pendidikan kita kini mulai bergeser—seperti peralihan pembelajaran tatap muka ke pembelajaran jarak jauh. Jelas bahwa pandemi ini telah benar-benar mengganggu sistem pendidikan yang menurut banyak orang telah kehilangan relevansinya, karena peralihan ini menyebabkan lebih dari 1,2 miliar anak berada di luar kelas. Akibatnya, pendidikan mulai berubah secara dramatis, dengan munculnya e-learning yang khas, di mana pengajaran dilakukan secara daring via platform digital.

Dengan pergeseran yang mendadak dalam metode pembelajaran di banyak belahan dunia yang diakibatkan pandemi ini, beberapa orang bertanya-tanya apakah penerapan pembelajaran online akan terus bertahan pasca pandemi, dan bagaimana perubahan tersebut akan berdampak pada pasar pendidikan di seluruh dunia. Karena ini berkenaan dengan efektivitas pendidikan itu sendiri. Olehnya, pelaku pendidikan terpaksa harus beradaptasi dengan cepat dalam situasi yang tak terduga ini. Berbagai macam cara telah dilakukan demi menyongsong pendidikan yang baik di tengah krisis pandemi ini, mulai dari pemberian data internet secara gratis, bahkan sampai kepada penyediaan tayangan edukasi di beberapa stasiun televisi sebagai ganti dari peralihan kelas dari offline tradisional ke e-learning tersebut.

Tapi sayangnya meski beberapa cara telah dilakukan, pendidikan kita masih saja menghasilkan persoalan-persoalan baru. Seperti masih banyaknya siswa yang tidak memiliki akses internet dan/atau teknologi (smartphone/komputer)—kesulitan untuk berpartisipasi dalam pembelajaran daring ini.

Menurut data OECD, kesenjangan ini terlihat di berbagai negara. Imbas terburuk dialami oleh negara berkembang seperti Indonesia; Ketika 95% siswa di Swiss, Norwegia, dan Austria sudah memiliki komputer yang dapat digunakan untuk tugas daring mereka, di Indonesia sendiri hanya 34% siswa saja yang memilikinya. Ini tentu tak luput dari persoalan-persoalan ekonomi—bahwa ada kesenjangan yang signifikan antara mereka yang berasal dari latar belakang yang beruntung (secara ekonomi) dan yang kurang beruntung (miskin).

Di sisi lain, hal tersebut juga diperburuk dengan hadirnya beragam trend-trend media yang secara fundamental non-edukasi, baik berupa tayangan televisi dan/atau game-game online. Sehingga, meskipun pembelajaran online terbukti meningkatkan retensi informasi, dan mustinya memakan waktu lebih sedikit dari pembelajaran biasa, tetap saja, edukasi yang sudah dilakukan dengan mudahnya tertimbun oleh trend-trend mainstream yang non-edukasi tersebut—yang kini mendominasi dan lebih digemari oleh—para peserta didik itu sendiri.

Selain hal tersebut, tentunya masih banyak lagi problem-problem serius mengenai pendidikan kita di tengah pandemi seperti ini.

Berkaca di daerah saya sendiri—pendidikan dasar hingga di beberapa pendidikan menengah, baik SMP maupun SMA—tidak melaksanakan pendidikan secara daring sebagaimana yang sudah diinstruksikan oleh pemerintah. Setiap minggunya para siswa diminta datang dan mengambil lembaran-lembaran tugas untuk mereka kerjakan; sama sekali tidak ada pembelajaran, kecuali sekadar menjawab soal-soal yang diberikan.

Hal ini terjadi sebenarnya bukan karena gagapnya tenaga pendidik dalam penerapan sistem pembelajaran secara daring, tetapi lebih kepada minimnya akses dan fasilitas penunjang yang dimiliki oleh peserta didik. Seperti yang terjadi dibanyak daerah lain, sekolah atau tenaga pengajar di daerah saya terpaksa harus menyesuaikan diri dengan kemampuan ekonomi para peserta didik yang notabene secara ekonomi rendah. Bahkan opsi alternatif untuk memberi pinjaman berupa buku-buku bacaan pun masih sulit untuk diterapkan, sebab kurangnya buku-buku paket bagi pelajar.

Kondisi ini juga diperparah dengan minimnya motivasi peserta didik untuk belajar secara mandiri dan juga rendahnya minat baca kebanyakan kita, lebih-lebih para peserta didik. Akibatnya, pemuda-pemuda di daerah saya, banyak yang lebih suka menghabiskan waktunya dengan dolanan, atau bermain game, alih-alih belajar.

Saya tentu tidak menyalahkan mereka ataupun tenaga pengajar yang ada. Hal ini terjadi diakibatkan kegagapan dan ketidaksiapan pendidikan kita dalam menghadapi situasi seperti sekarang ini. Karena adalah miris apabila kita abai dalam memperhatikan pendidikan kita secara lebih serius.

Lamun demikian kita juga tidak bisa terlalu bergantung pada pemerintah dalam hal menyelesaikan problem-problem pendidikan kita saat ini. Masyarakat pun juga tidak boleh lepas tangan atau menyerah begitu saja dengan persoalan penting seperti ini. Tentunya ini merupakan tugas kita bersama dalam mewujudkan dimensi sosial yang lebih akademis dengan muatan-muatan yang lebih edukatif.

Bagi saya, sistem pendidikan saat ini masih belum efektif, karena problem-problem fundamental dalam pendidikan kita juga masih belum tuntas atau bahkan tidak tersentuh sama sekali. Tak hanya sekadar bagaimana pendidikan kita menyesuaikan diri dengan situasi pandemi, tetapi juga bagaimana metodologi pendidikan yang baik bagi para peserta didik, terutama untuk meningkatkan kekritisan mereka untuk menghadapi kehidupan.

Dalam bukunya, '21 Lessons for the 21st Century', sejarawan Yuval Noah Harari menguraikan bagaimana sekolah hanya berfokus pada keterampilan akademis tradisional dengan pembelajaran hafalan, alih-alih keterampilan seperti berpikir kritis dan kemampuan beradaptasi pada situasi apapun. Apa yang diutarakan oleh Harari tersebut adalah hal umum yang terjadi di kebanyakan institusi pendidikan di dunia, termasuk Indonesia. Tidak teraplikasikannya visi pendidikan kita saat ini adalah disebabkan ketidaksiapan kita dan juga kegagapan sistem pendidikan kita.

Jika problem pendidikan seperti ini masih belum tuntas, tentunya kita khawatir dengan masa depan negeri ini. Pasalnya problem-problem seperti ini bukanlah perkara yang remeh temeh, jika kita semua masih tetap abai, pendidikan kita akan mengalami krisis besar-besaran dan akan menuju ambang kepunahannya. Karena seperti yang saya utarakan dalam pengantar saya sebelumnya, bahwa pendidikan merupakan faktor terpenting dalam pengembangan sumber daya manusia, dan pengembangan sumber daya manusia adalah faktor penting atas perkembangan suatu negara. 

Francis Bacon pernah berkata, bahwa “Knowlege is power”—pengetahuan menciptakan kuasa. Dari istilah tersebut menurut saya, dengan pengetahuan, manusia bukan hanya dapat menguasai lingkungannya tetapi juga dirinya sendiri. Jika pendidikan kita berada di ambang kepunahannya, tentunya negeri ini akan menjadi sasaran empuk untuk dimanfaatkan dan dimanipulasi oleh para manusia-menusia rakus—mengeksploitasi alam, masyarakat, atau bahkan kita sendiri.

Namun demikian, terlepas dari itu semua, pandemi ini juga tetap menyisakan butir-butir hikmah yang boleh jadi merupakan peluang yang baik bagi pendidikan kita. Jika teknologi pembelajaran online seharusnya dapat berperan besar pada situasi seperti ini, maka saya kira adalah kewajiban kita semua untuk mengeksplorasi potensi dari masyarakat kita dengan lebih maksimal melalui sistem pendidikan yang lebih komplementer melalui layanan-layanan yang juga mengedukasi, baik dalam wilayah pembelajaran kelas maupun penyediaan tayangan yang juga mengedukasi, yang bukan hanya ditujukan kepada peserta didik, tetapi juga kepada masyarakat secara umum. Seperti apa yang dikatakan oleh Wang Tao, Wakil Presiden Tencent Cloud dan Wakil Presiden Pendidikan Tencent:

"Saya percaya bahwa integrasi teknologi informasi dalam pendidikan akan semakin dipercepat dan bahwa pendidikan online pada akhirnya akan menjadi komponen integral dari pendidikan sekolah dan akan bermanfaat bagi masyarakat secara umum."

Karena, terus terang, pendidikan daring juga memiliki manfaat besar bahwa ia memungkinkan kita untuk menjangkau lebih banyak informasi secara langsung dan memudahkan kita untuk saling bertukar gagasan dengan lebih efisien antara satu dengan lainnya. Kita hanya membutuhkan sedikit polesan dalam membiasakan diri kita menghadapi situasi seperti saat ini. Karena saya juga yakin bahwa pembelajaran offline tradisional dan daring dapat berjalan beriringan.

Lebih baru Lebih lama