Beberapa waktu yang lalu, saya tidak sengaja menonton sebuah video instagram yang bagi saya cukup eksentrik di gawai. Video yang menayangkan tentang hal-hal yang berkenaan dengan sifat-sifat perempuan—yang sudah menjadi pemahanan dan kelaziman awam di masyarakat—bahwa perempuan itu seperti anak-anak yang tidak rasional, perempuan itu banyak menuntut pengertian laki-laki—dan/atau perempuan itu tidak pernah salah.
Ini cukup menarik. Karena seolah-olah, mereka menggambarkan bahwa gender atau jenis kelamin juga memiliki sebuah sifat-sifat tertentu.
Menurut saya, sifat-sifat yang dikategorikan sebagai sifat perempuan di atas itu salah besar. Karena bagi saya, sifat manusia bukanlah jenis kelamin, karena jenis kelamin tidak memiliki sifat.
Mari ambil contoh. Misalnya tentang narasi bahwa perempuan itu memiliki sifat yang kekanak-kanakkan. Coba pikirkan, apa standar atau ukurannya hingga perempuan dikatakan kekanak-kanakkan?
Jika ukurannya adalah karena perempuan berpikiran lugu layaknya anak-anak, lalu bagaimana dengan perempuan-perempuan cerdas di luar sana, yang bisa berpikir rasional dan bahkan mungkin lebih perseptif daripada kebanyakan laki-laki? Contoh seperti, Kalis Mardiasih.
Olehnya, menurut saya, jenis kelamin tidak mewakili sebuah kategori atau sifat tertentu. Itu ada dalam konteks yang berbeda. Karena kenyataannya, jika Anda sepakat bahwa laki-laki itu memiliki sifat rasional dan tidak kekanak-kanakan, bagaimana dengan fakta bahwa banyak dari laki-laki yang secara kognitif rendah—dan juga tidak seimbang secara emosionalnya. Jadi, menurut saya, siapapun bisa memiliki sifat-sifat tersebut, terlepas dari apa jenis kelaminnya—perempuan atau laki-laki.
Mungkin beberapa perempuan bagi Anda begitu kekanak-kanakan, tetapi bukan berarti semua perempuan seperti itu. Bukan berarti itu adalah kutukan sifat yang mereka bawa sejak lahir. Karena, laki-laki juga memilikinya, atau bahkan boleh jadi lebih banyak daripada perempuan itu sendiri. Jadi, sifat-sifat tersebut bisa dimiliki siapa saja. Tidak terikat pada jenis kelamin tertentu.
Namun demikian, di satu sisi saya menyadari bahwa kita juga tidak dapat menafikkan bahwa masih banyak perempuan yang terhegemoni dengan pemahaman yang timpang seperti itu bahwa perempuan itu kekanak-kanakan dan tidak serasional laki-laki.
Hal ini disebabkan karena banyak orang yang 'membenarkan' perempuan untuk selalu bersikap seperti itu, atau bahkan, menganjurkan perempuan untuk seperti itu lewat dominasi budaya patriarki kita. Seperti idiom “sudah begitulah sifat perempuan" yang saban hari kita dengarkan. Hal-hal seperti ini membuat perempuan dengan naifnya mengembangkan kesadaran bahwa sifat kekanak-kanakan seperti itu adalah—benar sudah menjadi tabiat mereka—dan tak berniat untuk mengubahnya.
Ada juga pemahaman yang serupa, seperti “perempuan cenderung menggunakan perasaannya, alih-alih logikanya.” Pernyataan seperti ini tentu saja memiliki pengaruh yang cukup disruptif—sehingga atas dasar pemikiran seperti inilah, mereka seolah mengaminkan perempuan untuk tetap bertindak irasional dan tidak logis—dan memengaruhi sudut pandang perempuan untuk selalu mengedepankan perasaan mereka.
Ketika standarisasi sifat seperti itu sudah menjadi sebuah kelaziman—perlahan pemahaman bahwa perempuan itu irasional dianggap sebagai sesuatu yang menarik seolah itu memberikan daya pikat tersendiri di mata laki-laki.
Singkatnya, kebodohan dan keluguan perempuan perlahan menjadi sebuah kredo—bahwa pesona perempuan terletak pada kebodohan dan keluguan mereka. Tak heran mengapa notabene perempuan lebih senang disebut menarik, imut, dan tidak rasional. Karena mereka berpikir, itu adalah hal yang normal untuk perempuan.
Lain halnya dengan laki-laki. Laki-laki selalu dituntut untuk menyembunyikan perasaan mereka—dituntut untuk terlihat kuat. Seolah-olah mereka tidak terikat dengan perasaannya—dengan cara bersikap untuk selalu terlihat logis.
Bagi sebagian laki-laki, mengekspresikan perasaan adalah perbuatan lemah dan tidak rasional. Jadi apabila seorang laki-laki, misalnya, kedapatan menangis (menangis oleh kebanyakan awam dianggap sebagai sifat perempuan), alih-alih diberi nasehat atau ucapan yang menenangkan, dia malah dihujani dengan cercaan—yang menganggap laki-laki tidak boleh mengekspresikan perasaannya dengan cara yang melankolis seperti itu.
Menurut hemat saya, Tuhan memberikan akal semata-mata bukan hanya kepada laki-laki saja. Dan Tuhan juga memberikan perasaan semata-mata bukan hanya kepada perempuan saja. Namun secara proporsional—akal/rasionalitas dan perasaan itu diberikan kepada perempuan dan laki-laki, tanpa ada juntrungan kategori atau standar tertentu. Jadi jika laki-laki bisa berpikir, maka seharusnya perempuan pun juga bisa berpikir. Dan jika perempuan bisa baper, maka seharusnya laki-laki pun juga bisa baper. Karena keduanya sama; memiliki akal dan perasaan.
Jadi, tidak ada istilah bahwa hanya perempuan saja yang lebih mengutamakan perasaannya. Sehingga ketika ada laki-laki yang mudah baper—malah dihukumi aneh. Seakan-akan laki-laki tidak boleh jujur dengan perasaannya. Padahal, laki-laki pun juga memiliki perasaan yang persis sama seperti perempuan pada umumnya, dan itu bukanlah hal yang salah atau memalukan jika mereka ingin menunjukkan perasaan mereka.
Perempuan Makhluk Tak Berakal?
Di beberapa negara, seperti Indonesia dan Jepang, ada pemahaman bahwa perempuan yang terlihat 'bodoh/kekanak-kanakan/tidak bisa berpikir rasional'ini jauh lebih menarik dibandingkan perempuan yang terlihat ‘pintar/logis’. Karena laki-laki yang kurang pintar, membutuhkan perempuan yang 'bodoh' untuk membuat dia merasa lebih pintar.
Karena budaya kita lah yang menuntut laki-laki untuk selalu selangkah lebih maju dari pada perempuan. Jadi, di tengah hegemoni budaya patriarki—adalah sangat memalukan jika perempuan lebih maju daripada laki-laki. Tentu saja hal ini sangat berdampak kepada laki-laki dan perempuan. Karena ketika seorang laki-laki berada di belakang perempuan, maka melalui dominasi budaya dan masyarakat patriarki kita—akan menarik paksa perempuan itu untuk mundur, agar laki-laki tetap berada di posisinya—lebih maju dari perempuan.
Ini pandangan yang menurut saya cukup egoistik. Bagaimanapun, manusia-manusia yang egois ini tidak akan punya waktu untuk memikirkan mereka yang malang. Selama mereka menang, dan mendominasi segala aspek yang ada, dia bahagia. Tak peduli, apakah itu didapatkan dengan cara yang kejam ataupun licik. Juga tak peduli apakah ada yang tersiksa atau teraniaya. Manusia yang kejam ini tidak pernah peduli dengan itu.
Tak heran kebanyakan perempuan lebih memilih berlomba memperbaiki penampilan mereka alih-alih cara berpikir mereka. Tentu saja, itu bukan sepenuhnya salah mereka. Karena sedari kecil, perempuan selalu dididik dan dituntut untuk menjadi seorang istri yang berbakti pada suami—dan juga dituntut untuk menjadi ibu yang hanya menghabiskan seluruh hidupnya di rumah. Mereka tidak pernah diajarkan betapa pentingnya untuk berpikir.
Sedari kecil perempuan-perempuan ini tidak mendapatkan kesempatan untuk mengungkapkan apa yang mereka cita-citakan. Sekalipun mereka mengatakannya, lingkungan yang patriarki dan orang tua mereka—tidak mendukung atau bahkan tidak mau mewujudkannya. Karena bagi mereka—sungguh aneh ketika melihat perempuan yang memiliki pendidikan yang sama seperti laki-laki. Itu bukan kebiasaan di masyarakat patriarki kita.
Ini semua adalah dampak dari pemikiran bahwa perempuan adalah makhluk yang tidak logis, atau dalam bahasaku; perempuan adalah makhluk yang tak berakal. Karena paradigma seperti itulah, sehingga perempuan tidak pernah mendapatkan kepercayaan bahwa mereka memiliki kualitas yang sama seperti laki-laki—dan selalu diperlakukan dengan cara yang tidak adil.
Olehnya, sekali lagi, seperti laki-laki yang bisa berpikir, maka perempuan seharusnya juga bisa berpikir. Seperti perempuan yang bisa terbawa perasaan, maka seharusnya laki-laki juga bisa terbawa perasaan.
Penulis