Siapa yang tidak kenal dengan istilah "pahlawan"? Sosok yang selalu menjadi idola dan juga hiburan di banyak acara-acara televisi, yang digemari oleh banyak orang mulai dari anak-anak hingga dewasa; Keberanian, kekuatan, kebaikan dan keadilan merupakan satu bagian utuh yang cukup menggambarkan pahlawan ini. Terlepas dari bagaimana kemampuan mereka, mungkin tidak sedikit dari kita yang begitu mengidolakan karakter yang disebut pahlawan ini, ya... mungkin saya adalah salah satu di antaranya.
Ada hal yang menarik dari tokoh-tokoh pahlawan ini, di mana mereka dituntut untuk menjadi seorang yang gagah menyelamatkan nyawa manusia. Tentu, aksi heroik yang banyak ditunjukkan oleh karakter-karakter pahlawan ini membuat banyak orang memikirkan kembali tentang bagaimana gagasan moral mereka; Bagaimana kita melakukan pekerjaan kemanusiaan yang kadang berbahaya, yang kapan saja menuntut kita untuk mengorbankan suatu hal, termasuk nyawa kita sendiri.
Tentu saja, melakukan tugas-tugas kemanusiaan merupakan hal yang secara moral sangat baik. Sehingga tidak sedikit yang berpikir bahwa "dengan melakukan perbuatan laiknya seorang pahlawan mungkin bisa membuat kita jauh lebih keren." Di satu sisi, melihat aksi-aksi heroik karakter-karakter pahlawan super di Marvel membuat kita menyadari bahwa menjadi seorang pahlawan merupakan pekerjaan yang sangat berisiko sekaligus juga sangat menggairahkan.
Meskipun perbuatan atau aksi tersebut cenderung hanya fiktif belaka, dan nampak menyenangkan, namun mungkin kita semua pernah melihat situasi di mana seorang pahlawan harus dihadapkan pada pilihan yang sulit dan dilematis, yang mana di satu sisi ia harus menyelamatkan nyawa manusia namun di sisi lain ia juga harus mengorbankan nyawa manusia lain untuk itu.
Olehnya, untuk menjelaskan hal tersebut, aku ingin menggambarkannya lewat sebuah teori—"The Trolly Problem". Mari bayangkan, Anda berada dalam sebuah kereta dengan kecepatan penuh di atas rel kereta yang lurus. Kemudian, tepat di rel kereta yang tengah Anda lalui tersebut, Anda melihat ada 5 orang yang sedang terikat di sana. Entah apa sebabnya mereka terikat di sana tentu saja Anda tidak tahu, bahkan tidak pernah terfikirkan oleh Anda sama sekali.
Ketika melihat hal tersebut, dengan cepat Anda berpikir bahwa, andai kata yang Anda tumpangi menabrak mereka maka dapat dipastikan mereka akan kehilangan nyawanya. Namun, setelah Anda perhatikan dengan lebih seksama, ternyata ada jalur kereta lain yang berbelok ke sebelah kiri, dan sekarang Anda punya pilihan untuk menarik tuas yang berada dalam ruang kemudi agar kereta dapat berbelok ke jalur lain sehingga Anda bisa menghindari kemungkinan buruk yang mungkin akan menimpa lima orang tersebut terjadi dan tentu saja Anda dapat memastikan bahwa lima orang yang terikat itu bisa menyelamatkan diri mereka dari maut. Namun setelah Anda perhatikan kembali jalur kereta di hadapan Anda, ternyata pada jalur rel sebelah kiri terdapat 1 orang lagi yang juga mengalami nasib serupa dengan kelima orang di jalur kereta lain—terikat, yang tentu saja berisiko kehilangan nyawanya jika tertabrak kereta.
Kini Anda dihadapkan pada situasi di mana Anda harus memilih, apakah membiarkan nyawa 5 orang untuk menyelamatkan nyawa 1 orang ataukah justru mengorbankan nyawa 1 orang untuk menyelamatkan 5 nyawa lainnya. Sekarang, jika Anda dihadapkan pada situasi tersebut, apa yang akan Anda pilih? Dan apa alasan Anda membuat pilihan tersebut? Sebelum Anda melanjutkan untuk membaca tulisan ini, tentukan terlebih dahulu pilihan Anda.
Mengenai teori "The Trolly Problem" ini, hasil survei menunjukkan bahwa 9 dari 10 orang akan memilih untuk menarik tuas dan membelokkan kereta ke jalur kiri, yang tentu saja akan merenggut satu nyawa manusia dengan dalih untuk "meminimalisir korban jiwa".
Namun, meskipun secara moral tak dapat dipungkiri bahwa setiap nyawa manusia adalah berharga, sejatinya kita tidak punya hak untuk merenggut nyawa orang lain. Olehnya, pilihan 9 orang dalam survei tadi adalah pilihan yang lazim dilakukan dan selalu sama di hampir setiap situasi dalam kehidupan, di mana hanya demi menyelamatkan nyawa/kepentingan orang banyak (mayoritas), maka nyawa/kepentingan orang (yang secara jumlah) sedikit dapat di sepelekan. Inilah nilai moral yang selama ini dianggap baik. Atau, bukankah moral yang selama ini kita junjung hanya tipuan belaka? Sekarang mari pikirkan baik-baik, ada sedikit perbedaan di dalam premis tadi, di luar daripada jumlah korban.
Pertama, jika Anda memilih diam (tanpa melakukan apapun). Maka kelima orang tadi pasti akan kehilangan nyawanya, dengan atau tanpa adanya Anda di sana. Sebut saja ini sebagai tindakan pasif. Namun demikian, hilangnya nyawa kelima orang tadi akibat tindakan pasif ini bukanlah karena kesalahan Anda, walaupun Anda mungkin bisa saja menyelamatkan nyawa mereka.
Kedua, jika Anda mengambil tindakan, maka tentu nyawa seseorang akan terancam karena tindakan Anda tersebut. Secara tak sadar Anda dipaksa untuk memilih nyawa mana yang musti dikorbankan. Dengan kata lain, Anda bertindak sebagai pelaku karena Anda berbuat dengan penuh kesadaran diri bahwa tindakan Anda akan merenggut nyawa manusia. Sebut saja tindakan ini sebagai tindakan aktif. Singkatnya, hilangnya nyawa satu orang (atau nyawa lima orang lain) karena tindakan aktif tersebut adalah murni kesalahan Anda.
Di sini saya cenderung melihat dari sisi kerugian ketimbang keuntungan, karena kerugian-kerugian yang ada itu adalah tanggung jawab kita sebagai pengambil keputusan, sedangkan keuntungan yang ada hanyalah hak belaka.
Moralitas di atas inilah yang kerap kali menyetir pandangan hidup kita, namun mirisnya posisi kita selalu sama seperti mereka yang terikat di rel kereta tadi; Bahwa kadang hidup kita yang menyenangkan adalah akibat dari adanya kerugian/penderitaan yang dialami oleh orang lain di negara kita; eksploitasi SDA (Sumber Daya Alam) contohnya. Penebangan liar dan eksploitasi yang bersifat ekologis lainnya dilakukan atas dalih untuk menyejahterakan dan memajukan negeri. Padahal nyatanya, alih-alih hidup sejahtera dan bahagia, banyak orang yang justru lebih merasakan dampak kerugiannya.
Kita selalu menjadi orang yang terikat di jalur rel kereta api, kita tidak pernah menjadi orang yang berada di dalam kereta dan memegang posisi penting sebagai si pengambil keputusan. Namun ketika kita berada di dalam kereta, dan berkesampatan untuk menarik tuas, kita tidak tahu apa yang harus kita lakukan. Sekarang, coba tanyakan pada diri Anda; Jika Anda memiliki kesempatan yang sama sebagai si pengambil keputusan, apakah Anda siap untuk menjadi sosok pahlawan yang selama ini Anda damba-dambakan?
Penulis