Loading...
Bagi kebanyakan perempuan hari ini, seks merupakan hal yang lazim terjadi, layaknya minum-minum di Sabtu malam—yang tidak semua orang bisa melakukannya, namun bagi mereka yang pernah melakukan itu (tentu) sudah merasa biasa, sehingga mereka tidak akan membuat keributan (yang tidak perlu) hanya untuk memperdebatkan hal tersebut. 

Saya dibesarkan di sebuah kota kecil di Punjab. Saya hampir tidak pernah didorong untuk membaca, dan saya (juga) tidak punya banyak teman yang bisa saya ajak untuk berdiskusi mengenai tubuh saya. Ibuku sama sekali tidak pernah berbicara kepada saya mengenai suatu hal kecuali menstruasi pertamaku. Jadi ketika saya sampai di masa-masa pubertas dan mulai menghadapi masalah keperawanan, saya malah disuruh untuk mencari tahunya sendiri. Sekarang saya sudah duduk di bangku kuliah, dan berkencan dengan seorang pria. Ketika berbicara mengenai seks, budaya pop dan teman-teman saya seolah tengah menjadikan topik tabu itu laiknya ketika mereka memesan secangkir kopi. (Namun) kondisiku sedikit berbeda, saya mulai memahami bahwa keperawanan (saat ini) nampaknya bukanlah sebuah persoalan besar bagi kebanyakan perempuan. Saya begitu penasaran dengan tubuhku, pun saya (juga) ingin berhubungan seks, namun anehnya saya diliputi oleh rasa bersalah jika kehilangan keperawananku? Apakah itu normal? 

Dear Miss Virginity

Di India, usia ideal untuk menikah adalah isu lama yang masih sering diperdebatkan. Perdebatan ini (bahkan) sering menjadi topik pembuka untuk masalah-masalah lain, meskipun skandalnya lebih dari satu—tentang usia ideal untuk menghilangkan keperawanan (menikah). Bagi seorang perempuan, usia terbaiknya adalah pada malam pertamanya (suhaag raat) —dengan sprei yang penuh darah (karena kehilangan keperawanannya). 

Bukankah sudah saatnya masyarakat India berhenti untuk terobsesi dengan keperawanan perempuan? Bukankah tidak wajar jika kita mengekang keinginan mereka dan memenjarakan tubuh mereka? Lagi pula, hanya karena masyarakat tidak menyukainya, itu bukan berarti perempuan tidak boleh memiliki pengalaman seks sebelum menikah. Jadi mengapa kita tidak membicarakan ini secara terbuka saja, sehingga para perempuan memiliki pemahaman seks yang lebih baik, daripada memenjarakan mereka; bahwa mereka harus menutupi kehidupan seksual mereka dari orang lain? 

Bagi kebanyakan perempuan hari ini, seks merupakan hal yang lazim terjadi, layaknya minum-minum di Sabtu malam—yang tidak semua orang bisa melakukannya, namun bagi mereka yang pernah melakukan itu (tentu) sudah merasa biasa, sehingga mereka tidak akan membuat keributan (yang tidak perlu) hanya untuk memperdebatkan hal tersebut. Dan, perempuan juga tidak lagi melihat pengalaman seks pertama mereka sebagai sebuah peristiwa yang akan mengubah hidup mereka. Mereka dapat melihat itu sebagai hal biasa—sebuah ritus sederhana dari perjalanan yang akan dialami oleh hampir semua orang dalam hidupnya. Pun, keperawanan atau aktivitas seksual adalah pilihan dan bukan suatu hal yang harus dipuji. 

Berikut penjelasannya:

Dalam survei yang saya lakukan, dengan jumlah sampel 75 perempuan dalam kelompok usia 17-28 tahun, 70 persen perempuan mengatakan kalau mereka sudah tidak perawan lagi. Usia di mana mereka pertama kali berhubungan seks juga bervariasi, dengan usia rata-rata 19 tahun. Sewaktu ditanya apakah mereka merasa malu dengan hal tersebut, 89 persen dari mereka menjawab dengan yakin "tidak." Dan sepertinya orang-orang di lingkungan sosial mereka pun juga mengikuti pola yang sama. 80 persen peserta (lain) mengatakan bahwa pacar perempuan mereka juga aktif secara seksual dan terbuka untuk mendiskusikannya dengan mereka—ini menunjukkan adanya pergeseran budaya yang signifikan di antara remaja perempuan. 

Banyak dari mereka yang memiliki respon yang menarik sewaktu diminta untuk menggambarkan bagaimana pengalaman seks pertama mereka dalam satu kata—"kenikmatan yang tidak menyenangkan", "canggung", "seperti tidak nyata", dan bahkan "meh!”. Sedangkan mereka yang mengaku masih perawanpun mengungkapkan bahwa mereka juga memiliki harapan mengenai seks pertama mereka nanti. Jawabannya berkisar dari seks yang "bersih dan romantis", "singkat", "lembut", dan "menyakitkan". Tanpa ada tekanan apapun. Pasangan itu saling mendukung satu sama lain. 

Situasi di mana seseorang kehilangan keperawanannya karena diperkosa—seperti yang dialami oleh komedian Amy Schumer—menimbulkan ancaman nyata bagi perempuan. Jika seorang perempuan dipaksa untuk melepaskan keperawanannya, dan/atau melakukan seks yang tidak berdasarkan suka sama suka, maka itu merupakan bentuk pelanggaran terhadap perempuan, tubuhnya, dan otoritasnya. 

Hanya karena seorang perempuan aktif secara seksual di usia 20-an—atau, mengutip contoh lain; memiliki tindik di badan, mengenakan gaun pendek, (Anda pasti mengerti)—itu tidak berarti dia adalah perempuan "murahan". Ini adalah pilihannya. Keperawanannya bukanlah sebuah tanda kebanggaan yang harus dia pamerkan kemana-mana agar orang lain mengetahui betapa sanskaari (terhormat) dirinya. Dan itu (juga) menjawab pertanyaan Anda: (Jawabannya adalah) tidak, karena berhubungan seks sebelum menikah itu tidak akan membuat Anda menjadi perempuan yang buruk. 

Mengapa masyarakat memandang rendah perempuan mandiri yang menjadi pengontrol seksualitasnya? Mengapa topik seks masih dianggap tabu, terutama terkait dengan perempuan? Semua orang tahu bahwa seks adalah kebutuhan mendasar manusia untuk semua jenis kelamin. Lalu mengapa kita menghindari subjek (topik) itu seolah-olah ia tidak pernah ada? 

54 dari 75 perempuan mengatakan bahwa orang tua mereka, semuanya orang India, tidak pernah "berbicara" (tentang sex dan keperawanan) dengan mereka, sementara hanya 2 orang yang mengaku bahwa (mereka memiliki) bibi/paman yang (mau) membicarakan hal tersebut dengan mereka. Pendidikan seks adalah kebutuhan saat ini untuk mengubah stigma seputar perempuan yang aktif secara seksual. Sehingga pendidikan seks bisa menjadi hal yang lumrah, bagaimana bisa imajinasi seksual sebagai sebuah topik yang jarang dibicarakan bisa diabaikan? Bagaimana kita bisa menghancurkan gagasan dan label (buruk) yang melekat pada perempuan yang aktif secara seksual, sehingga kita (bisa) memahami bahwa seks itu hal biasa? Kita membutuhkan pendidikan seks (sex education), dan kita musti menormalkan kembali percakapan kita tentangnya. 

Terakhir, meskipun saya telah menggunakan istilah ini dengan bebas, saya selalu mengalami kesulitan dengan istilah "kehilangan keperawanan" ini. Karena adanya istilah "kehilangan keperawanan" seperti ini justru menjadi alasan utama mengapa keperawanan dan kebebasan seksual dianggap sebagai masalah besar. Memangnya mengapa disebut "kehilangan"? Apa yang hilang—kepolosan, masa muda, apa? Sebuah cara pandang yang lebih positif akan menyarankan (kita) bahwa tidak ada yang hilang, tapi justru pengalaman baru yang kita peroleh. 

Jadi mari kita mendidik orang-orang di sekitar kita, yang masih menilai perempuan dari aktivitas seksualnya, bahwa seks yang didasarkan atas suka sama suka bukanlah aktivitas yang memalukan. Dan mari kita menyebarkan kesadaran tentang pelecehan seksual pada perempuan, terutama perempuan yang masih di bawah umur. Sudah waktunya untuk melepaskan hambatan kita dan mendiskusikan seks dengan lebih terbuka, tanpa ada rasa malu. 

Pandangan di atas adalah milik penulis sendiri. 

• • • 

Essai ini ditulis oleh Tanvi Akhauri dengan judul asli Girl Talk: Should I Feel Guilty About Losing My Virginity Before Marriage?. Diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Soraya Alamri.

Lebih baru Lebih lama