Loading...

Untuk memahami apakah tujuan pendidikan itu untuk mencari nilai atau ilmu, kiranya terlebih dahulu kita harus memahami apa itu nilai dan apa itu ilmu. Memang kedua hal ini terlihat sepele, tetapi hal sepele bukan berarti tidak berpengaruh—terutama dalam akademis.

Theodorson Pelly (1994) berpendapat bahwa nilai merupakan "sesuatu—abstrak yang di jadikan pedoman prinsip-prinsip umum dalam bertindak dan bertingkah laku." Keterikatan seseorang atau kelompok terhadap suatu nilai akademik menurut Theodorson relatif sangat kuat.

Nilai akademik menjadi salah satu faktor penting dalam pendidikan mulai dari sekolah dasar sampai di bangku kuliah sebagai bentuk dari evalusi kelulusan—kita cenderung mengaksentuasikan nilai akademik kita sebagai pertimbangan keberhasilan. Ini tidaklah salah. Hanya saja ketika berbicara tentang nilai akademik, metode pembelajaran kita hanya terfokus pada hasil semata, sehingga proses dalam mencapai hasil tersebut terabaikan; padahal proses merupakan esensi dari pendidikan itu sendiri—membaca, menulis, dan berdiskusi.

Namun ada satu pertanyaan menarik, “Apa yang sebenarnya kita cari di bangku pendidikan selama ini? Apa sekadar hanya ingin lulus dengan nilai terbaik dan meraih titel?” Menurut saya, jawaban dari pertanyaan ini adalah "tidak." Mungkin lazim untuk merasa bangga ketika kita sudah mendapat titel di belakang nama, tetapi pernahkah kita berpikir betapa beratnya gelar ini sebagai bentuk dari amanah bahwa kita telah terdidik? Bisa dibayangkan, kalau kita hanya sekadar mengejar nilai 4.00—tetapi tidak memahami atau bahkan melupakan proses pendidikan seperti yang saya sebut di atas.

Kita menyadari bahwa di dalam pendidikan—umumnya terlalu menekankan kepada nilai akademik sahaja—inilah salah satu bentuk dari kacaunya esensi pendidikan kita yang selama ini kita pegang, dan parahnya lagi di Indonesia—pencapaian nilai akademik itu hanya berdasarkan pada tes kecil yang kemudian melupakan arti sebenarnya dari materi yang selama ini diajarkan.

Kita dibutakan dengan cara pembelajaran yang abstrak, yang alih-alih mengejar esensi sebagai seorang yang terdidik, kita cenderung pada metodologi penghafalan yang kapan saja bisa hilang itu; Kita diberi bejibun materi dan menghafalkannya, namun apakah mahasiswa memahami esensi sebenarnya dari materi tersebut ketika ia sudah mendapatkan gelarnya kelak? Belum tentu.

Oleh karena itu tak heran, seringkali dalam benak manusia maupun tindakannya, terkhusus mahasiswa—bahwa nilai menjadi pokok penting agar kehidupannya nampak bermakna; kejuntrungan atas nilai akademik—apabila sudah membudaya di dalam diri seseorang, maka nilai akademik itu akan di jadikan sebagai pedoman dan/atau tujuan seperti yang dikatakan oleh Theodorson Pelly sebelumnya.

Mungkin dipikiran kita hal ini tidak sepenuhnya salah, terutama dalam target akademis tiap pelajar secara keseluruhan, akan tetapi bagi saya jika nilai semata yang kita jadikan tujuan utama pendidikan kita, maka secara tidak langsung mahasiswa telah melupakan esensi sebenarnya pendidikan—yaitu agar kita terdidik dan demi memberantas kebodohan, bukan demi angka 4 di atas secarik kertas.

Sedangkan ilmu itu sendiri bukan sekadar nilai hitam di atas putih saja, tetapi merupakan suatu pengetahuan yang hakikatnya sangat penting. Dalam pengertian lain, ilmu dapat diangggap sebagai hasil dari proses berfikir kita yang diperoleh melalui pengalaman sehari-hari—dengan membaca kita mendapatkan wawasan baru, dengan menulis kita terlatih untuk cakap dalam meramu kata, dan dengan berdiskusi membuat kita terlatih dalam berbicara dan bersosialisasi.

Menurut filsuf kenamaan, Aristoteles. Ia membagi ilmu menjadi dua bagian, yaitu: Pertama, ilmu teoritis yang merupakan usaha yang bertujuan untuk memperoleh pengetahuan tentang realitas; Kedua, ilmu praktis, yang penyelidikannya bertujuan untuk menjelaskan suatu perbuatan berdasarkan pengetahuan.

Jadi, menurut hemat saya, esensi dari pendidikan ialah untuk ilmu, yang di mana kita diajak untuk mencari tahu maupun mengumpulkan berbagai macam informasi yang ada lewat pengalaman kita, sehingga dengan begitu kita dapat memahami dan merasakan baik langsung maupun tidak langsung hasil dari proses pendidikan yang kita jalani selama ini.

Dilihat dari perspektif filsafat—bahwa ilmu terbentuk karena manusia berusaha untuk berpikir. Hal ini searah dengan tujuan suci pendidikan yaitu agar manusia menjadi terdidik dalam berpikir, dan apabila manusia telah terdidik, tentu saja dengan sendirinya (dengan atau tanpa kita inginkan) nilai akan ikut terbawa ke permukaan, tetapi apabila tujuan utama kita dalam pendidikan hanya untuk nilai atau angka semata, maka mahasiswa hanya akan terbawa ambisi polos, bahkan melakukan segala cara agar ia bisa mendapatkan nilai yang baik, menjadikannya seolah nilai itulah harga dirinya.

Sampai di sini, saya kira kita semua sudah dapat mengetahui dan membedakan apa tujuan utama dari pendidikan itu—nilai ataukah ilmu?

Namun begitu, sayangnya sistem pendidikan di negeri ini lebih menciptakan mahasiswa yang bertitel semata alih-alih mahasiswa yang berilmu/terdidik. Hal ini terbukti dengan adanya ijazah yang menurut saya (mohon maaf) merupakan sebuah tanda kebodohan akademis. Seperti kata Rocky Gerung, bahwa "ijazah adalah tanda seseorang yang pernah sekolah, bukan tanda seseorang pernah berpikir."

Mari kita perhatikan lingkungan sekitar—di mana mahasiswa yang tidak memiliki ijazah akan menjadi tidak berguna untuk—misalnya melamar pekerjaan atau masuk ke instansi maupun lembaga-lembaga yang ia inginkan. Meskipun orang tersebut sebenarnya terhitung cerdas.

Beginilah mindset mahasiswa yang tadinya suci telah ternodai oleh tendensi awam dengan berpikir bahwa nilai/ijazah adalah segala-galanya, walhasil tak heran dikemudian hari mahasiswa malah menjadi budak atau codot kapitalis, sorak-sorak agent of change yang dulunya menggema di kampus menjadi sekadar mimpi di siang bolong. Sebaliknya jika mahasiswa lebih mengutamakan ilmu, maka tatanan kapitalis sebesar apapun akan runtuh. Inilah menurut saya kunci sebenarnya dari agent of change yaitu mencari ilmu bukan mencari formalitas nilai.

Tujuan saya menyampaikan ini tak lebih dan tak kurang ialah hanya ingin mengajak setiap orang—termasuk diri saya sendiri agar dalam bangku pendidikan—lebih mefokuskan diri pada metode pembelajaran yang bertujuan ke esensi pendidikan yaitu ilmu/terdidik, sehingga mulai dari SD, SMP dan seterusnya bisa merasakan dan mengetahui apa arti dari sebuah pendidikan, bahwa bukan hanya sekadar penilaian formalitas yang didasari oleh ijazah dan nilai raport, melainkan memunculkan kualitas dan/atau potensi tiap peserta didik.

Muhammad Rasyid Ridho Djupanda , Mahasiswa IAIN Palu
Lebih baru Lebih lama