Sejak kecil saya diajarkan bahwa tubuh perempuan merupakan sesuatu yang erotis. Itulah mengapa—adalah pemahaman umum bahwa tubuh perempuan merupakan hal yang terlarang untuk diperlihatkan. Karena banyak yang menilai bahwa ketika laki-laki melihat bentuk tubuh perempuan maka itu akan memancing nafsu mereka. Seolah tubuh perempuan semata-mata hanya menjadi objek pemuas mata dan syahwat kaum Adam.
Jadi, ketika seseorang berbicara mengenai seks, hal yang pertama kali muncul di benak orang-orang adalah—tubuh perempuan. Begitu juga ketika kita membahas tubuh perempuan, maka yang pertama kali muncul dalam benak adalah seks. Karena itu, bagi perempuan yang terlahir dengan bentuk tubuh ideal (dalam pandangan masyarakat) seperti, memiliki payudara besar atau bokong yang besar—membuat pemahaman tubuh ideal tersebut dikonseptualisasikan menjadi sebuah rambu bahwa si perempuan tengah menarik perhatian laki-laki dan/atau sedang memancing nafsu mereka.
Maka adalah hal wajar jika tetiba laki-laki tersebut menggoda atau melecehkan si perempuan, dan kesalahan cenderung dijatuhkan pada tubuh perempuan yang konon dinilai mengundang nafsu laki-laki.
Secara general, hal ini juga tak jauh berbeda dengan para perempuan yang mengenakan pakaian tertutup seperti hijab. Bahkan, meskipun si perempuan sudah mengenakan pakaian tertutup sekali pun, pelecehan tetap akan terjadi—dan entah mengapa secara misterius yang kerap disalahkan ialah perempuan itu sendiri. Ini menunjukkan bahwa dengan atau tanpa pakaian yang tertutup, pun di dunia ini perempuan selalu diposisikan sebagai objektifikasi seksual.
Mengutip Tirto.id, pada Juli 2019, sekelompok organisasi yang berkumpul dalam Koalisi Ruang Publik Aman mengumumkan "Survei Pelecehan Seksual di Ruang Publik" yang dilakukan pada akhir 2018. Studi ini menghimpun data selama 16 hari, saat Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (HAKTP). Ada 62.224 responden yang tersebar di 34 Provinsi di Indonesia.
Melalui survei ini, para peneliti menemukan fakta yang mematahkan mitos bahwa jenis pakaian korban ikut berpengaruh pada kasus pelecehan. Survei itu membuktikan bahwa jenis pakaian yang digunakan korban pelecehan itu beragam, tidak hanya mereka yang berpakaian terbuka saja: seperti rok dan celana panjang (18%), baju lengan panjang (16%), seragam sekolah (14%), hijab (17%), dan baju longgar (14%). Menilik hal tersebut, kita dapat melihat bahwa pakaian yang tertutup tidak menjamin bahwa perempuan akan terbebas dari pelecehan.
Jadi tak ada jaminan jika menutup aurat akan membuat perempuan lepas dari objektifikasi birahi laki-laki. Bagi saya, ini merupakan problem mentalitas laki-laki itu sendiri yang cenderung menjadikan perempuan sebagai objek fantasi mereka. Maka benar apa yang dikatakan oleh Rocky Gerung, bahwa "jangan ajarkan perempuan untuk berpakaian sopan, tapi ajarkanlah laki-laki untuk berpikiran sopan."
Siapa suruh dia punya tubuh—seperti itu. seharusnya dia menutupi tubuhnya dengan pakaian yang lebih tebal lagi—atau sekalian saja, jangan keluar dari rumah. Ini adalah pemikiran yang kerap saya terima ketika ada perempuan yang dilecehkan oleh laki-laki. Seolah biang keladi pelecehan adalah perempuan, atau si korban.
Olehnya, untuk menghindari hal tersebut, perempuan terpaksa mengikat dan membatasi dirinya, dan tak heran, jika banyak perempuan yang merasa terganggu dengan pembahasan yang berhubungan dengan perkara-perkara seks yang dinilai jorok, sekali pun jika pembahasan tersebut hanya berupa guyonan. Ketidaknyamanan ini muncul karena memikirkan kerentanan pikiran laki-laki dan fantasi liar mereka. Olehnya, saya kira laki-laki musti belajar bagaimana meluruskan pikiran mereka.
***
Saya juga teringat ketika suatu waktu saya berbincang ringan dengan beberapa teman laki-laki saya mengenai artis-artis Korea. Saat itu saya memuji kecantikan artis Korea, namun mereka tetiba menimpali, "beh, saya te suka perempuan tepos.” Mendengar itu saya merasa ingin sekali menampar mulut mereka. Seolah perempuan berpenampilan semata-mata hanya untuk menyenangkan hati laki-laki saja, yang ketika mereka tidak menyukai penampilan perempuan, adalah hak mereka lah untuk mengomeli dan mengomentarinya.
Mengutip koran Kompas, Prof. Ariel Heryanto pernah memberikan komentarnya atas pemikiran patriarkal seperti itu dengan kalimat yang cukup puitis: “Hidup penuh dengan ironi. Jutaan wanita di dunia mati-matian mengejar kecantikan. Untuk apa? Untuk siapa? Di kota pusat mode bernama Paris seorang idola kecantikan telah terbunuh. Di planet Bumi ini dianggap cantik punya risiko serius. Mirip dianggap “komunis” di zaman Perang Dingin di negeri-negeri blok kapitalis.”
Ia menunjukkan bahwa pemahaman umum yang patriarkal bahwa perempuan tak lebih dari sekadar objek pencuci mata agar gemulai di mata laki-laki seperti itu sudah menjadi hal lumrah di masyarakat kita, dan— ya laki-laki kerap mencibir perempuan dengan apapun yang mereka kenakan. Stereotip dan justifikasi yang merendahkan acap kali laki-laki layangkan; karena notabene laki-laki berpikir bahwa perempuan hadir untuk mereka, dan adalah sebuah keharusan bagi perempuan untuk mematuhi laki-laki.
Berpakaian tertutup atau tidak. Berdandan atau tidak. Selama paradigma dan mentalitas patriarki seperti itu belum dihilangkan, perempuan akan selalu ditempatkan sebagai objektifikasi, stereotifikasi, dan justifikasi penilaian oleh laki-laki. Saya kira ini juga berlaku bagi semua orang; bahwa mustinya kita perlu belajar untuk bagaimana menghargai selera orang lain.
Juga ada kasus lain yang serupa. Suatu waktu, ketika saya nimbrung dengan beberapa senior-senior saya di kampus. Salah seorang dari mereka mengatakan dengan nada bercanda, bahwa fungsi perempuan adalah untuk menyemangati laki-laki. Memang benar bahwa ini adalah candaan dan sekilas cukup sepeleh untuk dipersoalkan, namun candaan ini sudah menjadi paradigma umum kebanyakan laki-laki yang menurut saya cukup memprihatinkan, seolah perempuan tak lebih dari sekadar objek hiburan laki-laki. Mereka tidak melihat perempuan seperti manusia pada umumnya yang sama seperti mereka.
Lamun demikian, saya bersyukur setidaknya saya bertemu dengan beberapa laki-laki yang memang memperlakukan perempuan layaknya manusia, yang sama seperti mereka. Bukan sekadar objek hiburan dan taman penghias rumah mereka. Itu cukup memberikan saya harapan, bahwa kegagapan laki-laki dalam melihat posisi perempuan itu bukan disebabkan karena fakta bahwa mereka adalah laki-laki, namun karena sifat dan kepribadian mereka sebagai individu itu sendiri dan tentu saja dikarenakan hegemoni sosial kita yang masih patriarki.
Di lain sisi, saya menyadari bahwa kita musti membaca hal ini dengan lebih adil—bahwa apa yang tengah terjadi dengan perempuan, juga mungkin bisa terjadi dengan laki-laki. Karena secara fundamental, posisi laki-laki dan perempuan adalah sama-sama sebagai korban; korban dari budaya kita yang kejam. Dulu mungkin hanya laki-laki saja yang bisa melecehkan perempuan. Tetapi, saat ini, perempuan pun juga bisa melecehkan laki-laki.
Mari kita layangkan pertanyaan serupa; Bagaimana jika ada perempuan yang melakukan pelecehan terhadap laki-laki? Sebagaimana perempuan yang dilecehkan, bukankah itu juga salah tubuh laki-laki? Jika kita mengikuti standar pemikiran yang sama, seharusnya ini menyiratkan bahwa laki-laki juga harus menutup auratnya sebagaimana perempuan. Karena yang memiliki nafsu bukan hanya laki-laki, perempuan pun juga memilikinya.
Kebanyakan kita tidak memikirkan hal tersebut karena kita hanya berfokus pada laki-laki saja. Bak bumi yang mengelilingi matahari, dunia seolah bergerak disekitaran laki-laki. Mungkin benar bahwa laki-laki dan perempuan sama-sama terjebak oleh budaya, namun saya kira budaya lebih menguntungkan dan berpihak pada laki-laki. Di mana dosa dan kesalahan rentan dijatuhkan pada makhluk lemah yang bernama perempuan. Ketika laki-laki bernafsu, maka itu salah perempuan. Namun ketika perempuan tergoda melihat tubuh laki-laki, maka itu pun juga tetap salah perempuan.
Ini bukanlah hal yang remeh-temeh. Hegemoni rancuh budaya pop kita saat ini juga memiliki dampak yang buruk pada psikis perempuan yang seumur hidup hanya menjadi perhiasan dan pengharum ruangan kaum Adam. Yang oleh Beauvoir sebut sebagai "The Second Sex". Dan karena itu, betapa banyak perempuan yang akhirnya kini membenci tubuh mereka sendiri, dan berubah skeptik dengan eksistensi mereka sebagai makhluk yang setara. Olehnya saya kira, laki-laki mustinya belajar bagaimana seharusnya melihat perempuan dengan lebih adil.
Akhirnya, saya ingin menutup tulisan ini dengan sebuah anekdot yang bercerita tentang bagaimana kunjungan makhluk asing ke planet bumi.
Jadi, suatu waktu, beberapa makhluk planet asing ingin berkunjung ke planet bumi. Yang mana oleh para petinggi di bumi, sang makhluk asing itu dipersilakan untuk melawat ke berbagai tempat di bumi dengan niat untuk melakukan perbandingan atau studi banding antara planet mereka dan planet bumi.
Semuanya sangat indah dan menarik bagi mereka, baik tempat wisata maupun bagaimana capaian teknologi manusia yang oleh mereka sangat luar biasa hebat. Namun sayang, ada satu hal yang membuat mereka terheran.
"Ada yang ganjil dengan kehidupan di bumi," ujar salah satu dari mereka. Semua masyarakat bumi yang hadir saat itu terheran, dan bertanya-tanya. Makhluk asing itu berkata bahwa "entah mengapa, setiap kali kami berjalan-jalan di pusat kota-kota metropolitan di malam hari, mengapa hanya pria saja yang terlihat."
Melihat keheranan tersebut, salah satu petinggi di bumi pun berkata, bahwa "itu adalah hal yang lumrah di bumi. Sebab kalau sudah malam, pusat kota menjadi tidak aman bagi perempuan. Hal tersebut dilakukan demi alasan keamanan, dan itulah sebab mengapa kebanyakan wanita dan anak-anak tinggal di rumah."
Alih-alih puas, penjelasan tersebut tidak membuat para makhluk asing itu mengangguk paham. Tetiba salah seorang dari mereka pun angkat bicara: "Terus terang, kami masih tidak paham. Karena sebaliknya, kalau di planet kami ada binatang buas yang berbahaya bagi umum, yang kami kurung adalah binatangnya. Bukan korbannya"
Penulis