Sebuah penelitian menunjukkan bahwa, baik wanita maupun pria bereaksi lebih negatif terhadap kritikan yang berasal dari seorang wanita.
Mari bayangkan bosmu yang bernama Ethan, memanggilmu ke kantornya. Bosmu mengatakan bahwa ia kecewa dan tidak puas atas kurangnya—kinerjamu akhir-akhir ini. Bagaimana Anda akan bereaksi? Apakah Anda mau menerima masukkan tersebut, dan ingin lebih berusaha lagi? Atau apakah Anda cemberut (karena tidak terima) dan mulai mencari pekerjaan baru? Lalu, sekarang, apakah reaksi Anda akan berbeda jika (misalnya) atasan Anda tidak bernama Ethan tapi Emily?
Saya seorang profesor ekonomi, dan saya meneliti tentang pertanyaan ini.
Hal ini memiliki faktor penting terhadap keberhasilan wanita dalam kepemimpinan mereka, sebagaimana Jane Fraser, yang mengambil alih Citigroup pada bulan Februari, dan menjadi dirinya sebagai wanita pertama yang akan memimpin bank besar di Wall Street.
Jika suatu jabatan akan menjadi bumerang bagi kepemimpinan wanita, kemungkinan mereka sudah mengambil strategi manajemen yang belum efektif, atau jangan-jangan mereka sama sekali kurang tertarik dengan posisi kepemimpinan.
Wanita di Tempat Kerja
Ada 45% karyawan wanita di perusahaan S&P 500. Namun, hanya 37% saja yang menduduki posisi manajer, 27% bos di tingkat senior, dan sekitar 6% yang memegang jabatan sebagai CEO.
Kesenjangan ini tetap ada meskipun capaian pendidikan wanita lebih unggul dari pria. Bahkan dalam beberapa tahun terakhir, secara kuantitas mereka juga lebih tinggi dalam tes kompetensi kepemimpinan.
Penelitian yang ada tidak menunjukkan bukti yang jelas tentang diskriminasi gender terhadap pelamar kerja di bagian manager. Karena kendala pembatasan metodologi, pengkajian seperti itu biasanya hanya berfokus pada perekrutan untuk posisi tingkat awal saja.
Diskriminasi dalam kenaikan jabatan pun jauh lebih sulit untuk ketahui, karena interaksi kerja susah untuk diamati oleh para peneliti. Namun, penelitian saya, dapat membantu untuk mengatasi masalah ini.
Dalam penelitian saya, saya mempekerjakan 2.700 pekerja online lalu menuliskan biodata mereka. Kemudian secara acak, saya memilih laki-laki atau perempuan di posisi manajer, dan menugaskan pekerja mana yang akan menerima hasil dari kinerja mereka.
Hasil yang saya dapatkan dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa baik pria maupun wanita, mereka bereaksi lebih negatif terhadap kritik jika kritik itu berasal dari perempuan. Fakta menunjukkan bahwa mendapat kritikan dari seorang perempuan menyebabkan penurunan pada kepuasan kerja yang lebih besar daripada kritik yang dilayangkan oleh laki-laki. Karyawan juga menjadi tidak tertarik untuk bekerja di perusahaan tersebut, apabila mereka pernah dikritik oleh atasan perempuan.
Seorang manajer perempuan tidak serta merta dapat diabaikan begitu saja. Karyawan yang di pekerjakan dalam penelitian kami sebenarnya menghabiskan lebih banyak waktu untuk membaca dan memikirkan balasan dari manajer perempuan.
Kita tidak dapat berasumsi mengapa karyawan cenderung menerima kritik dengan baik dari seorang perempuan. Meskipun kami menemukan bahwa subjek dalam penelitian ini, notabene cenderung mengait-ngaitkan laki-laki dengan karier perempuan dan keluarga, kecenderungan ini tidak dapat diperkirakan apabila mereka mendiskriminasi bos perempuan.
Jenis diskriminasi ini juga bukan karena kurangnya sosialisasi pada supervisor perempuan. Pekerja yang menyatakan bahwa atasan perempuan mereka sangat baik, kemungkinan besar akan marah jika tetiba mereka mendapatkan kritik dari atasan perempuan mereka.
Sebaliknya, nampaknya yang juga mendorong suatu hasil—ialah bagaimana ekspektasi gender seseorang ketika melihat gaya kepemimpinan atasannya. Penelitian lain menunjukkan bahwa para pekerja—cenderung mengaitkan "pujian" dengan atasan wanita (karena wanita dianggap sebagai pemimpin yang mustinya sering memuji bawahannya), dan dua kali lebih besar kemungkinannya untuk mengaitkan "kritik" dengan manajer/atasan pria (karena pria dianggap lazim sebagai atasan yang tegas dan tak segan memberikan kritik). Apabila terjadi sebaliknya, seperti atasan wanita yang suka mengkritik, orang cenderung akan bereaksi negatif jika sesuatu tidak sesuai dengan ekspektasi mereka.
Contoh kasus: bos wanita yang kritis
Masih belum jelas sejauh mana hasil penelitian ini dapat dijadikan tolak ukur di seluruh sistem kerja yang lebih tradisional. Namun, "ekonomi pertunjukan" dan pengaturan kerja jarak jauh—adalah bagian ekonomi yang kini secara masif berkembang.
Beberapa orang berpendapat bahwa pekerjaan ini menawarkan lebih banyak kemudahan dan karenanya menguntungkan perempuan. Namun, temuan dari penelitian ini menyoroti kekhawatiran lain tentang diskriminasi—karena kurangnya pengawasan terhadap peraturan dan kurangnya perlindungan—yang sama.
Apa yang bisa dilakukan?
Belakangan ini, beberapa perusahaan mulai mencoba untuk membendung diskriminasi terhadap perempuan di dalam manajemen.
Beberapa telah menyewa "pelatih," mengajar para karyawan untuk lebih fokus pada kinerja mereka saja alih-alih pada identitas orang yang menyediakannya. Selain itu, ada bukti bahwa memberi tahu orang-orang tentang tindakan yang akan kita ambil juga dapat mempengaruhi perilaku kita.
Penelitian lain menunjukkan bahwa menyoroti kredibilitas wanita dalam kepemimpinan—seperti evaluasi atau surat referensi—bisa menjadi hal yang solutif.
Tulisan ini saya akhiri dengan pesan harapan: Reaksi negatif terhadap kritikan dari atasan wanita dalam penelitian saya lebih rendah di antara para pekerja muda dan semakin menurun (atau bahkan hilang) bagi pekerja yang masih berusia 20-an. Meskipun karyawan yang lebih muda mungkin mendiskriminasikan usia mereka, bisa jadi ini adalah bentuk diskriminasi karena pergeseran generasi.
Essai ini ditulis oleh Martin Abel (Profesor Ekonomi) dengan judul asli “Why Do Female Bosses Get Different Reactions Than Men When They Criticise Employees”. Diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Deni Kodaryani.
Penulis